Ambang Batas 20 Persen Pilpres Dinilai Merusak Demokrasi dan Jauhkan Perempuan dari Politik

Ruslan
610 view
 Ambang Batas 20 Persen Pilpres Dinilai Merusak Demokrasi dan Jauhkan Perempuan dari Politik
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. (Foto: google.com)

JAKARTA, datariau.com - Direktur Perludem Titi Angraini menyebut ada 6 bahaya jika aturan ambang batas (presidential threshold) calon presiden (capres) tidak dibatalkan. Pertama, rekrutmen partai politik (parpol) semakin elitis. 

"Rekrutmen parpol makin elitis, sentralistis, dan tertutup. Kalau di sini ada anggota partai saya yakin tidak tahu-menahu soal manuver para elite. Karena dikendalikan oleh elite membuat keputusan," ujar Titi saat menjadi pembicara dalam diskusi publik 'Hapus Ambang Batas Nyapres; Darurat Demokrasi, Darurat Konstitusi', di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (31/7/2018). 

Kedua, kata Titi, narasi capres dan cawapres akan semakin pragmatis. Ada kekhawatiran pemilihan sosok capres dan cawapres yang diusung akan menitikberatkan pada orientasi figur, bukan platform visi misi. 

"Ketiga, sistem elektoral kita makin sulit dijangkau oleh perempuan. Salurannya cuma dua, padahal ruang perempuan tampil itu bisa diraih kalau salurannya banyak. Jadi, ambang batas semakin menjauhkan perempuan dari narasi politik dan elektoral kita," katanya. 

Titi juga mengatakan aturan ambang batas capres akan menyebabkan polarisasi dan pembelahan di masyarakat. Kemudian, bahaya kelima adalah ambang batas 20 persen disebutnya akan menurunkan partisipasi politik. 

"Itu angka pemilih pilpres lebih rendah dari pileg. Kenapa? karena ada yang tidak terwadahi, saya tidak milih ini dan itu," ujar Titi. 

Titi melanjutkan, bahaya terakhir adalah adanya politik transaksional. Politik tak lagi berbasis ideologi. 

"Tapi (berbasis) kepentingan. Saya bisa terfasilitasi oleh pasangan yang mana. Ini bicara soal Indonesia, soal memastikan kita berdemokrasi, demokrasi yang konstitusional," katanya. 

Untuk itu, Titi berharap ada kebijaksanaan dari Mahkamah Konstitusi terkait gugatan uji materi terhadap Pasal 222 UU Pemilu No 7/2017 yang mengatur tentang ambang batas. Sebab, dengan pasal itu, UU pemilu menurut Titi sudah berlebihan. 

"UU pemilu kita ini overkill, berlebihan. Memang cenderung membatasi parpol sangat berlebihan. Memberlakukan ambang batas presiden, ambang batas parlemen juga dinaikkan. Ini menjauhkan kita dari amanat reformasi, yang menjelaskan memurnikan kedaulatan rakyat dan supremasi hukum," ungkap Titi. 

Sebelumnya, sejumlah aktivis, akademisi, pegiat demokrasi dan tokoh masyarakat menggugat UU Pemilu No 7/2017 ke MK. Mereka keberatan dengan Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas capres.

Gugatan ini diajukan karena pasal tersebut membuat kebebasan rakyat dalam memilih menjadi terbatas. Selain itu, Pasal 222 ini juga dinilai tak sesuai dengan UUD 45. 

Editor
: Ruslan Efendi
Sumber
: detik.com
Tag:
JIKA MENEMUKAN BERITA KAMI TIDAK SESUAI FAKTA, SEGERA HUBUNGI 0813 3966 1966 (Chat WhatsApp Only)