Riba, Dosa Besar yang Menghancurkan

Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
datariau.com
1.102 view
Riba, Dosa Besar yang Menghancurkan
Ilustrasi. (Foto: Internet)

DATARIAU.COM - Riba merupakan perbuatan dosa besar dengan ijma’ Ulama, berdasarkan al-Qur`ân, as-Sunnah. Dalil dari al-Qur`ân di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla:

Allâh menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [al-Baqarah/2:275]

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari riba dan memberitakan bahwa riba termasuk tujuh perbuatan yang menghancurkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Apakah itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allâh haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. [HR. al-Bukhâri, no. 3456; Muslim, no. 2669]

Para Ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.


Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin telah sepakat akan haramnya riba. Riba itu termasuk kabâir (dosa-dosa besar). Ada yang mengatakan bahwa riba diharamkan dalam semua syari’at (Nabi-Nabi), di antara yang menyatakannya adalah al-Mawardi”[1].

Syaikhul Islam oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Melakukan riba hukumnya haram berdasarkan al-Qur`ân, as-Sunnah, dan ijma’.”[2]

Makna dan Macam-macam Riba


Secara lughah (bahasa) riba artinya tambahan, sedangkan menurut istilah syara’ (agama), para fuqahâ’ (ahli fiqih) memberikan ta’rîf (difinisi) yang berbeda-beda kalimatnya, namun maknanya berdekatan.

al-Hanafiyyah menyatakan riba adalah kelebihan yang tidak ada penggantinya (imbalannya) menurut standar syar’i, yang disyaratkan untuk salah satu dari dua orang yang melakukan akad penukaran (harta)[3]. Syâfi’iyyah menyatakan riba adalah akad untuk mendapatkan ganti tertentu yang tidak diketahui persamaannya menurut standar syar’i (agama Islam) pada waktu perjanjian, atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang ditukar, atau salah satunya[4].

Hanabilah menyatakan riba adalah perbedaan kelebihan di dalam perkara-perkara, mengakhirkan di dalam perkara-perkara, pada perkara-perkara khusus yang yang ada keterangan larangan riba dari syara’ (agama Islam), dengan nash (keterangan tegas) di dalam sebagiannya, dan qiyas pada yang lainnya[5].

Definisi riba ini akan lebih jelas jika kita mengetahui macam-macam riba, sebagai berikut:

1. Riba an-Nasî’ah (riba karena mengakhirkan tempo)

Yaitu: tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari tempo yang diundurkan. Dinamakan riba an-nasî‘ah (mengakhirkan), karena tambahan ini sebagai imbalan dari tempo hutang yang diundurkan. Hutang tersebut bisa karena penjualan barang atau hutang (uang).

Riba ini juga disebut riba al-Qur’an, karena diharamkan di dalam Al-Qur’an.

Allâh berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2: 278-279]

Ayat ini merupakan nash yang tegas bahwa yang menjadi hak orang yang berpiutang adalah pokok hartanya saja, tanpa tambahan. Dan tambahan dari pokok harta itu disebut riba[6].

Jika tambahan itu atas kemauan dan inisiatif orang yang berhutang ketika dia hendak melunasi hutangnya, tanpa disyaratkan maka sebagian ahli fiqih membolehkan. Namun orang yang berhati-hati tidak mau menerima tambahan tersebut karena khawatir itu termasuk pintu-pintu riba, wallahu a’lam[7].

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan larangan ini dalam khutbah wada’ dan hadits-hadits lainnya. Sehingga kaum Muslimin bersepakat tentang keharaman riba an-nasîah ini.

Riba ini juga disebut riba al-jahiliyyah, karena riba ini yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.

Riba ini juga disebut riba jali (nyata) sebagaimana dikatakan oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab I’lâmul Muwaqqi’in, 2/154[8].

Riba ini juga disebut dengan riba dain/duyun (riba pada hutang), karena terjadi pada hutang piutang.

Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang riba yang tidak diragukan (keharamannya-pen), dia menjawab, “Riba itu adalah seseorang memiliki piutang, lalu dia berkata kepada orang yang berhutang, “Engkau bayar (sekarang) atau (pembayarannya ditunda tapi dengan) memberi tambahan (riba)?” Jika dia tidak membayar, maka orang yang berhutang memberikan tambahan harta (saat pembayaran), dan pemilik piutang memberikan tambahan tempo[9].

Imam Ibnul ‘Arabi al-Mâliki rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyyah dahulu biasa berniaga dan melakukan riba. Riba di kalangan mereka telah terkenal. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain dengan hutang. Jika waktu pembayaran telah tiba, orang yang memberi hutang berkata, “Engkau membayar atau memberi riba (tambahan)?” Yaitu: Engkau memberikan tambahan hartaku, dan aku bersabar dengan waktu yang lain. Maka Allâh Azza wa Jalla mengharamkan riba, yaitu tambahan (di dalam hutang seperti di atas-pen)[10].

Dengan penjelasan di atas kita mengetahui bahwa riba jahiliyyah yang dilarang dengan keras oleh Allâh dan RasulNya adalah tambahan nilai hutang sebagai imbalan dari tambahan tempo yang diberikan, sementara tambahan tempo itu sendiri disebabkan ketidakmampuannya membayar hutang pada waktunya. Jika demikian, maka tambahan uang yang disyaratkan sejak awal terjadinya akad hutang-piutang, walaupun tidak jatuh tempo, yang dilakukan oleh bank, BMT, koperasi, dan lainnya, di zaman ini, adalah riba yang lebih buruk dari riba jahiliyyah, walaupun mereka menyebut dengan istilah bunga.

2. Riba al-Fadhl (riba karena kelebihan).


Yaitu riba dengan sebab adanya kelebihan pada barang-barang riba yang sejenis, saat ditukarkan.

Riba ini juga disebut riba an-naqd (kontan) sebagai kebalikan dari riba an-nasî‘ah. Juga dinamakan riba khafi (samar) sebagai kebalikan riba jali (nyata)[11].

Barang-barang riba ada enam menurut nash hadits, seperti di bawah ini:

Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu , dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (jenis gandum) dengan burr, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam, harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah hukumnya sama.” [HR. Muslim, no. 4148]

Bahaya Riba di Dunia


Berbagai bahaya riba mengancam para pelakunya di dunia sebelum di akhirat, antara lain:

1. Laknat bagi pelaku riba.


Dari Jabir Radhiyallahu anhu , dia berkata, “ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya”, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka itu sama.” [HR. Muslim, no. 4177]

2. Perang dari Allâh Azza wa Jalla dan RasulNya.


Barangsiapa nekat melakukan riba, padahal larangan sudah sampai kepadanya, maka hendaklah dia bersiap mendapatkan serangan peperangan dari Allâh dan RasulNya. Siapa yang akan menang melawan Allâh? Allâh Azza wa Jalla berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allâh dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al-Baqarah/2: 278-279]

Bahaya Riba di Akhirat


Selain bahaya di dunia, maka riba juga mengakibatkan bahaya mengerikan di akhirat, antara lain:

1. Bangkit dari kubur dirasuki setan.


Ini telah diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân dan dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

Dari ‘Auf bin Malik, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dosa-dosa yang tidak terampuni: ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi; khianat; korupsi). Barangsiapa melakukan ghulul terhadap sesuatu barang, dia akan membawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba. Barangsiapa memakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila, berjalan sempoyongan.”

Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca, اَلَذِينَ يَأكُلُونَ الربٰوا لَا يَقُومُونَ اِلا كَمَا يَقُومُ الذِي يَتَخَبَطُهُ الشيطٰنُ مِنَ المَس'ِۗ “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (al-Baqarah/2:275) [HR. Thabrani di dalam Mu’jamul Kabîr, no. 14537; al-Khatib dalam at-Târîkh. Dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahîhah, no. 3313 dan Shahîh at-Targhîb, no. 1862]

2. Akan berenang di sungai darah.


Dari Samurah bin Jundub, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tadi malam aku bermimpi ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya membawaku ke kota yang disucikan. Kami berangkat sehingga kami mendatangi sungai darah. Di dalam sungai itu ada seorang laki-laki yang berdiri. Dan di pinggir sungai ada seorang laki-laki yang di depannya terdapat batu-batu. Laki-laki yang di sungai itu mendekat, jika dia hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Setiap kali laki-laki yang di sungai itu datang hendak keluar, laki-laki yang di pinggir sungai itu melemparkan batu ke dalam mulutnya sehingga dia kembali ke tempat semula. Aku bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Orang yang engkau lihat di dalam sungai itu adalah pemakan riba’”. [HR. al-Bukhâri]

3. Nekat melakukan riba padahal sudah sampai larangan, diancam dengan neraka.

Allah berfirman:

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [al-Baqarah/2:275]

Inilah berbagai ancaman mengerikan bagi pelaku riba. Alangkah baiknya mereka bertaubat sebelum terlambat. Sesungguhnya nikmat maksiat hanya sesaat, namun akan membawa celaka di dunia dan di akhirat. Hanya Allâh Azza wa Jalla tempat memohon pertolongan. ***

Footnote

[1] al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, 9/391

[2] Majmû’ al-Fatâwâ, 29/391

[3] al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50

[4] al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50

[5] al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/50

[6] Lihat Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm, 4/6, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam

[7] Lihat Fathul Bâri pada syarh hadits no: 3814

[8] al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/57

[9] ‘I’lâmul Muwaqqi’in

[10] Ahkâmul Qur’an, 1/241, karya Ibnul ‘Arabi

[11] al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/58


Source: almanhaj.or.id

Tag:Riba
JIKA MENEMUKAN BERITA KAMI TIDAK SESUAI FAKTA, SEGERA HUBUNGI 0813 3966 1966 (Chat WhatsApp Only)