Tragedi Terbunuhnya "Terduga" Teroris dr Sunardi

Inikah Potret Penanganan Terorisme dengan ExtraJudicial Killings (EJKs) di Tengah Industri Hukum?
datariau.com
1.372 view
Tragedi Terbunuhnya "Terduga" Teroris dr Sunardi
Eks Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Prof. Pierre Suteki.

DATARIAU.COM - Tragedi dalam penegakan hukum sangat mungkin terjadi mana kala dalam menegakkan hukum aparat justru melakukan pelanggaran hukum dan apalagi pelanggaran HAM. Hukum sebagaimana karakternya mempunyai sifat mengatur sesuai dengan pakem yang ditentukan, biasanya dituangkan dalam Kitab Hukum Acara sehingga due process of law menjadi sangat penting dalam upaya hukum untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) serta menghadirkan keadilan di tengah masyarakatnya (bringing justice to the people).

Ada empat fakta hukum yang dijadikan sandaran analisis singkat artikel ini, yaitu terbunuhnya terduga teroris (1) Siyono warga Klaten pada tahun 2016, (2) Qidam Alfarizki warga Poso Sulawesi Tengah yang ditembak mati pada tanggal 9 April 2020, (3) Muhammad Jihad Ikhsan warga Ngruki, Sukoharjo yang ditembak mati pada tanggal 10 Juli 2020 oleh aparat kepolisian RI, dan (4) yang baru saja terjadi tanggal 9 Maret 2022 adalah dibunuhnya Dokter Sunardi di Sukoharjo Jawa Tengah. Densus 88 Antiteror Mabes Polri telah melakukan penindakan yang menewaskan seorang yang diduga terlibat kasus terorisme. Korban yang tewas tersebut ternyata seorang dokter.

Empat fakta hukum tersebut memiliki kemiripan terkait dengan pemberantasan terorisme di tanah air Indonesia. Kemiripan itu terletak pada pelakunya, yakni sama-sama masih berstatus terduga teroris.

Keempat terduga teroris, yakni Siyono, Qidam Alfarizki, Muhammad Jihad Ikhsan dan Dokter Sunardi meregang nyawa sebelum ada vonis pengadilan untuk menentukan salah benar perbuatannya. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan dari sisi hukum, moral dan Hak Asasi Manusia? Apakah keempat fakta hukum tersebut menunjukkan bahwa dalam proses penanganan dugaan terorisme telah terjadi pembunuhan di luar peradilan (extrajudicial killings)?

Beberapa Fakta Adanya Terduga Teroris yang Terbunuh Sebelum Proses Peradilan:

1. Kasus Terbunuhnya Terduga Teroris Siyono (Klaten), 2016.


Mungkin para netizen masih ingat terbunuhnya Terduga teroris di Klaten Jawa Tengah. Tepat tanggal 11 maret 2020, sudah 4 tahun berlalu Siyono, warga Klaten terbunuh di tangan aparat Densus 88 karena diduga menjadi anggota kelompok teroris. Terdapat dugaan kuat bahwa Siyono terbunuh sebelum proses pembuktian di pengadilan. Siyono terbunuh di tangan anggota Densus 88 dengan dalih melakukan perlawanan.

Siyono adalah warga desa Brengkungan, Cawas, Klaten ditangkap Densus 88 dalam kondisi sehat atas dugaan terkait terorisme. Namun, tak lama kemudian dia dipulangkan dalam kondisi tak bernyawa. Hasil autopsi yang dilakukan tim independen Komnas HAM dan Muhammadiyah menyebutkan, Siyono meninggal karena sejumlah patah tulang di bagian dada yang menyebabkan pendarahan di jantung.

Ditengarai ada 2 anggota Densus 88 yang terlibat langsung dalam terbunuhnya Siyono. Kedua anggota Densus 88 tersebut adalah AKP H dan AKBP MT. Adapun sanksi yang dituntut kepada dua anggota Densus 88 tersebut adalah kewajiban untuk menyatakan permohonan maaf atas kekeliruan mereka kepada institusi Polri dan masyarakat. Sanksi lain yang juga diusulkan adalah pemberhentian dengan tidak hormat. Selain itu, ada pula opsi untuk memutasikan dua anggota tersebut ke satuan lain.

Pada akhirnya, kedua anggota Densus 88 yang terbukti bersalah akhirnya diberikan sanksi internal dari kepolisian berupa mutasi dan dibebastugaskan dari kesatuan Densus 88. Dalam hal ini, Komnas HAM menilai bahwa hukuman tersebut belum setimpal melihat dampaknya yang menghilangkan nyawa seorang warga negara Indonesia.

“Jadi selama ini yang sudah dilakukan negara kan, baru melakukan sanksi dan pertanggungjawaban dari anggota Densus secara internal. Idealnya, pasca reformasi itu siapapun polisi yang melakukan kriminal juga dilakukan pengadilan pidana di pengadilan umum, seperti masyarakat lainnya,” ungkap Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution saat dihubungi Kiblat.net, Rabu (8/3/2017) di Depok.

Sebelumnya, republika.co.id memberitakan bahwa cara-cara penindakan dan pencegahan terorisme yang dilakukan Detasemen Khusus 88 (Densus 88) menjadi sorotan publik. Hal ini terjadi setelah terduga teroris dari Klaten, Jawa Tengah, Siyono (34 tahun) tewas di tangan pasukan antiteror itu pada waktu itu.

Pengamat terorisme dari Certified International Investment Analyst (CIIA), Harist Abu Ulya mengatakan, kasus yang menimpa Siyono bukanlah yang pertama kali terjadi. Menurutnya, penangkapan yang dilakukan aparat Densus 88 sering kali tidak sesuai dengan prosedur.

Dia pun tak heran kematian terduga teroris bisa sering terjadi karena personil pasukan khusus itu bertindak secara tidak profesional. "Setidaknya sudah 120 terduga teroris yang tewas dalam proses penangkapan. Padahal, ini jelas prosedur hukumnya penangkapan, berarti mereka tidak profesional" kata Harits kepada Republika.co.id, Rabu (16/3/2016).

2. Kasus Terbunuhnya Terduga Teroris Qidam Alfarizki (Poso), 2020.


Terbunuhnya terduga teroris baru saja juga terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Qidam Alfarizki Mowance, pada tanggal 9 April 2020 bertempat di Desa Tobe Kecamatan Poso Pesisir Utara Kabupaten Poso. Qidam ditembak mati oleh polisi dengan status terduga teroris.

Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Pol Didik Supranoto, yang dikonfirmasi salah satu media online di Palu, membenarkan adanya kejadian tersebut. Saat dilakukan pengejaran, dan terjadi kontak tembak dan akhirnya sasaran terkena tembak. Didik menegaskan, informasi Satgas Tinombala, warga yang tertembak itu sudah bergabung dengan dengan kelompok sipil bersenjata, saat turun gunung dan mendatangi rumah warga.

JIKA MENEMUKAN BERITA KAMI TIDAK SESUAI FAKTA, SEGERA HUBUNGI 0813 3966 1966 (Chat WhatsApp Only)