Abstrak
Pendidikan inklusi adalah pendekatan pendidikan yang bertujuan untuk mengintegrasikan anak-anak dengan kebutuhan khusus ke dalam sekolah reguler, dengan memberikan mereka akses pendidikan yang setara. Di Indonesia, meskipun ada berbagai inisiatif untuk menerapkan pendidikan inklusi, tantangan-tantangan signifikan masih menghambat implementasinya. Artikel ini mengeksplorasi tantangan dan peluang yang ada dalam penerapan pendidikan inklusi di Indonesia melalui analisis literatur dan data sekunder. Ditemukan bahwa tantangan utama termasuk kurangnya sumber daya, pelatihan guru yang tidak memadai, dan stigma sosial. Namun, terdapat peluang yang menjanjikan melalui peningkatan kesadaran, kebijakan yang mendukung, dan pemanfaatan teknologi pendidikan.
Kata kunci: Pendidikan Inklusi, tantangan, peluang
Abstract
Inclusive education is an educational approach that aims to integrate children with special needs into regular schools, by providing them with equal access to education. In Indonesia, although there are various initiatives to implement inclusive education, significant challenges still hinder its implementation. This article explores the challenges and opportunities that exist in implementing inclusive education in Indonesia through literature analysis and secondary data. It found that key challenges included lack of resources, inadequate teacher training, and social stigma. However, there are promising opportunities through increased awareness, supportive policies, and the use of educational technology.
Keywords: Inclusive Education, challenges, opportunities
PENDAHULUAN
Pendidikan inklusi merupakan impelementasi pendidikan di sekolah yang melibatkan semua siswa untuk terlibat dalam proses pembelajaran, semua anggota mendapat perlakukan yang sama sebab mereka memiliki nilai yang sama sebagai anggota sekolah. Inklusi berarti penyatuan siswa normal dengan anak berkebutuhankhusus dengan cara komprehensif meliputi kurikulum, lingkungan dan interaksi sosial di sekolah secara menyeluruh. Pendidikan Inklusi memandang bahwa anak berkebutuhan khusus tidak dipandang sebagai bentuk kekurangan namun dipahami sebagai kondisi fisik yang berbeda yang dapat melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Pendidikan inklusi menjamin kesetaraan dan keadilan sosial membuka peluang anak-anak berkebutuhan khusus untuk menadapat pendidikan yang berkualitas sehingga individu dapat mengembangkan potensinya (Muhibbin and Hendriani, 2021).
Perbedaan, baik berupa fisik, mental, maupun kemampuan, sekarang lebih dikenal dengan istilah difabel (differently abled/perbedaan kemampuansebuahterma baru pengganti istilah bagi kaum penyandang cacat). Namun, kondisi seperti ini sejatinya tidak membuatperlakuan berbeda terlebih bagi mereka penyandang difabel. Sebab sebenarnya hak untuk memperoleh pendidikan bagi setiap anak adalahsama (inklusif) dan tidak boleh terjadidiskriminasi. Bahkan para penyandang difabelsekalipun berhak mendapat pendidikan yang layak seperti halnya anak-anak normal lainnya.
Sehubungan dengan itu, maka tujuan pendidikanpun sejatinya diarahkan pada usaha membimbing dan mengembangkan potensi anak didik secaraoptimal, tanpa mengabaikan perbedaan individu. Sayangnya, sistem pendidikan kita belum mengakomodirdengan baik persoalan perbedaan terutama bagi difabelini, sehingga muncullah segmentasi lembaga pendidikan yang berbasis pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan fisik juga mental siswa. Misalnya saja, bagi anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan, disediakan fasilitas pendidikan khusus yang disesuaikan dengan tingkat dan jenis difabelnya yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), yang secara tidak disadari telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Lebih jauh, kesuksesan menangani pendidikan bagi kaum difabel di tingkat dasar dan menengah berupa meningkatnya tingkat partisipasi difabel, tidak secara otomatis tertransferkan ke tingkat pendidikan tinggi. Akses pendidikan tinggi bagi mereka penyandang difabel masih menjadi PR berat yang perlu dicarikan jawabannya oleh semua pihak terkait terutama para penanggung jawab pendidikan di Perguruan Tinggi. (Yusuf, 2016).
METODE
Artikel ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan tinjauan literatur dan analisis data sekunder. Sumber data mencakup artikel jurnal, laporan pemerintah, dan publikasi dari organisasi non-pemerintah yang fokus pada pendidikan inklusi. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memahami tantangan serta peluang dalam penerapan pendidikan inklusi di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendidikan Inklusi
Anak-anak yang mengalami hambatan tertentu atau penyandang disabilitas harus diajak masuk dan turut serta dalam dunia pendidikan. Inilah makna dari pendidikan inklusi, yaitu mengikut sertakan atau melibatkan anak-anak yang mengalami hambatan tertentu. Kata ini berasal dari bahasa Inggris, ‘inclusion’, inclusive “to include”, semuanya bermakna melibatkan, mengikutkan. Untuk melibatkan mereka perlu dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. Pengertian inklusi juga berarti pengikutsertaan tersebut adalah cara menghargai setiap orang dengan latar belakang yang berbeda-beda, baik beda agama, gender, suku maupun perbedaan fisik dan mental (Arafah, 2022).
Tantangan Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam pendidikan. Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman inklusi dan implikasinya
a. Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olok
2. Kebijakan sekolah
a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABKdalam penyediaan guru khusus
3. Proses pembelajaran
a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan kurikulum, menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak
e. Belum adanya panduan yang jelas tentang sistem penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam
f. Masih terdapat persepsi bahwa sistem penilaian hasil belajar ABK sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuan belajar yang berarti
4. Kondisi guru
a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang belum sensitif dan proaktif dalam menangani ABK di kelas inklusi
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK
c. Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing guru. Pelaksanaan tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai panduan, serta dukungan anggaran yang memadai
5. Sistem dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi - LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya
c. Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alas an geografik
d. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal
e. LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujudkan dengan baik
f. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun bantuan teknis, dinilai masih kurang perhatian dan kurang proaktif terhadap permasalahan nyata di lapangan
g. Kalaupun pemerintah saat ini sudah mengikutkan guru-guru dalam pelatihan atau memberikan bantuan yang sifatnya fisik atau keuangan, namun jumlahnya masih sangat terbatas dan belum merata
h. Sekolah umumnya juga belum didukung fasilitas yang diperlukan untuk mendukung aksesibilitas dan keberhasilan pembelajaran secara memadai (Muhibbin and Hendriani, 2021).
Peluang Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi juga berdampak positif dalam jangka panjang. Anak-anak yang mendapatkan pendidikan inklusi memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses dalam kehidupan dewasa mereka. Mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkanketerampilan sosial, kemandirian, dan pemecahan masalah yang diperlukan untukberfungsi dengan baik di masyarakat. Dengan memperoleh pendidikan yanginklusif,anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat meraih pencapaian akademik yang tinggi danmemiliki peluang yangsama untuk mencapai tujuan hidup mereka (Winarti, 2015).
1. Kebijakan dan Dukungan Pemerintah
a. Regulasi yang Mendukung: Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang mendukung pendidikan inklusi, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Permendikbud Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif.
b. Program Pelatihan dan Sertifikasi: Pemerintah dan berbagai organisasi telah menginisiasi program pelatihan dan sertifikasi untuk meningkatkan kompetensi guru dalam pendidikan inklusi.
2. Peran LSM dan Komunitas
a. Advokasi dan Sosialisasi: Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan komunitas berperan penting dalam advokasi dan sosialisasi pendidikan inklusi. Mereka sering kali mengadakan kampanye dan program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Bantuan dan Dukungan: LSM dan komunitas sering memberikan bantuan dan dukungan kepada sekolah dan keluarga dalam bentuk pelatihan, pendampingan, dan penyediaan fasilitas.
3. Teknologi dan Inovasi
a. Alat Bantu dan Teknologi Asistif: Perkembangan teknologi memberikan peluang besar bagi pendidikan inklusi. Alat bantu belajar dan teknologi asistif dapat membantu siswa dengan kebutuhan khusus untuk belajar lebih efektif.
b. Platform Pendidikan Online: Platform pendidikan online dapat menyediakan materi pembelajaran yang dapat diakses oleh semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
KESIMPULAN
Pendidikan inklusi di Indonesia bertujuan untuk melibatkan semua siswa, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, dalam proses pembelajaran yang adil dan setara. Pendidikan ini menekankan pentingnya menyatukan siswa normal dengan anak berkebutuhan khusus dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang menyeluruh. Anak berkebutuhan khusus dilihat sebagai individu dengan kondisi fisik yang berbeda, tetapi tetap mampu berpartisipasi dalam pendidikan dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Meski begitu, pendidikan inklusi menghadapi sejumlah tantangan, seperti kurangnya pemahaman dan kompetensi guru, kebijakan sekolah yang belum optimal, serta keterbatasan fasilitas dan sistem dukungan.
Namun, ada berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat pendidikan inklusi di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang mendukung, peran aktif LSM dan komunitas, serta perkembangan teknologi memberikan harapan positif untuk masa depan pendidikan inklusi. Dengan upaya kolaboratif dan komitmen semua pihak terkait, pendidikan inklusi dapat memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak untuk berkembang dan mencapai potensi maksimal mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah, S. (2022) ‘Pengembangan Pendidikan Inklusi: Argumentasi Dan Tantangan Di Era Modern’, Mimikri: Jurnal Agama dan Kebudayaan, 8(2), pp. 450-504.
Muhibbin, M.A. and Hendriani, W. (2021) ‘Tantangan Dan Strategi Pendidikan Inklusi di Perguruan Tinggi di Indonesia: Literature Review’, JPI (Jurnal Pendidikan Inklusi), 4(2), p. 92. Available at: https://doi.org/10.26740/inklusi.v4n2.p92-10.
Winarti (2015) ‘Tantangan pendidikan inklusi dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN’, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Fisika, pp. 8-13.
Yusuf, M. (2016) ‘Pendidikan Inklusif Di Perguruan Tinggi: Antara Peluang Dan Tantangan’, Islamika : Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 15(2), pp. 163-172. Available at: https://doi.org/10.32939/islamika.v15i2.46.
Disusun oleh Mahasiswa Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Islam Riau:
Adinda Ramadani: 2269106441
Karyn Agustina: 2269106442
Dosen Pengampu: Dea Mustika SPd MPd