DATARIAU.COM- Heboh sejak Sabtu, 10 Juli 2021, sebuah pernyataan dari dokter Lois Owien atau dr Lois yang menyebut bahwa kematian pasien COVID-19 akibat interaksi obat.
Bahkan, beberapa kicauannya di akun Twitter @LsOwien, dr Lois yang mengaku tidak percaya COVID-19 kerap menyebut pemberian obat lebih dari enam macam plus dobel antibiotika dan dobel dosis antivirus yang dia yakini menjadi biang keladi penyebab kematian banyak orang akhir-akhir ini.
Agar bola bola panas tidak semakin besar, Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zullies Ikawati angkat bicara mengenai interaksi obat yang disinggung dr Lois.
Menurut Zullies, interaksi obat terjadi karena adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada pasien.
Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain (bersifat sinergis atau aditif), mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan.
"Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya. Ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi, tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual," kata Zullies sebagaimana pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com pada Minggu, 11 Juli 2021 malam.
Kapan interaksi obat dapat menguntungkan?
Zullies Ikawati menekankan bahwa banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapi. Apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid).
"Bahkan satu penyakit pun bisa membutuhkan lebih dari satu obat. Contohnya, hipertensi. Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal, dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi," katanya.
"Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme berbeda, sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru," Zullies menekankan.
Dalam hal ini, obat di atas dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi yang terjadi adalah interaksi yang menguntungkan. Ini karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah. Meski begitu, tetap harus diperhatikan terkait risiko efek samping, karena semakin banyak obat, tentu risikonya bisa meningkat.
Pemilihan Obat Terapi COVID-19 yang Terbaik
Seorang pasien virus corona COVID-19 terlihat menggunakan oksigen di unit perawatan intensif (ICU) di sebuah rumah sakit di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (7/7/2021). Indonesia memperluas pembatasan untuk memerangi gelombang virus corona COVID-19 yang mematikan. (Azwar Ipank/AFP)
Bagaimana dengan terapi COVID-19? Zullies Ikawati menerangkan, COVID-19 memang penyakit yang unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi. Pada pasien yang bergejala sedang sampai berat, misalnya, dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
"Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian," terangnya.
"Dalam hal ini, dokter akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya,"
Kapan interaksi obat dapat merugikan? Interaksi obat dapat merugikan, jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yg digunakan bersama. Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya.
"Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan. Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi COVID-19 atau azitromisin dengan levofloksasin," Zullies menambahkan.