DATARIAU.COM - Bisa jadi, dari sederetan berita penghilangan nyawa disertai mutilasi, apa yang dilakukan Alvi Maulana (24), pemuda asal Dusun Aek Paing Tengah, Labuhanbatu, Sumatera Utara terhadap pacarnya TAS (25) asal Desa Made, Kecamatan/Kabupaten Lamongan yang paling sadis. Tubuh gadis yang sudah 5 tahun hidup bersamanya, berbagi cerita dan cinta terpotong dalam ratusan bagian, seolah memastikan tak ada lagi cinta dan rasa yang tersisa hanya karena emosi tak tertahankan dan sabar yang habis terkikis.
Atas tindakannya, Alvi terancam hukuman mati karena dijerat pasal pembunuhan berencana yaitu Pasal 340 KUHP dan/atau Pasal 338 KUHP ujar Kapolres Mojokerto AKBP Ihram Kustarto. Kesaksian tetangga seolah memberatkan hukuman dengan mengatakan kedua pasangan ini memang sering cekcok.
Sontak media sosial viral memberitakan peristiwa sadis dan pahit ini. Jejak digital diunggah netizen menjadikan kehidupan kedua sejoli yang semula tak dikenal menjadi bulan-bulanan. Tak sedikit yang mencemooh mengapa mau-maunya menjadi perempuan murahan, belum mendapatkan kepastian sudah serahkan kehormatan.
Kita memang tak cukup merasa prihatin, sebab kasus ini tak murni akibat emosi yang berujung mutilasi, melainkan ada faktor lain yang rakyat sendiri menyikapinya semakin permisif, yaitu kohabitasi atau kumpul kebo atau living together di kalangan generasi hari ini. Laki-laki dan perempuan nonmahram hidup bersama tanpa ikatan pernikahan selama bertahun-tahun.
Norma di masyarakat apalagi syariat Islam sudah tak lagi dinilai, padahal masyarakat mayoritas beragama Islam. Gaya hidup sekuler liberal menjadi panduan mengejar kesenangan bersama pasangan. Yang penting senang, yang penting keinginan biologis terpenuhi. Mereka tidak lagi peduli halal haram.
Gaya hidup menyimpang bahkan bertentangan dengan syariat ini semakin menjadi pilihan gaya hidup bukan semata alasan pemenuhan kebutuhan biologis, suka sama suka, tapi dijadikan alasan cara mengenal pasangan sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius, efisiensi biaya hidup yang semakin mahal.
Lebih ekstrem lagi adalah untuk mendapatkan materi, seperti tempat tinggal, pakaian kekinian, gadget, dan aneka gaya hidup lainnya, kondisi masyarakat yang individualis semakin mendorong dosa besar ini (zina) ini marak.
Kapitalisme membuat manusia sibuk memenuhi kebutuhan masing-masing karena negara berlepas tangan dari mengurusi rakyatnya. Hingga energi masyarakat habis untuk mengurangi beban hidupnya sendiri, tak ada lagi untuk amar makruf nahi mungkar. Tentu saja, kerusakan semakin merajalela, bahkan dianggap biasa.
Produk hukum semestinya mampu menyelesaikan persoalan, namun ternyata laman Kemenkum (29-7-2024) Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra menerangkan bahwa baik kohabitasi maupun perzinaan merupakan delik aduan terbatas. Dengan begitu, tindakan kohabitasi dan perzinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 411 dan Pasal 412 hanya dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Pengaduan harus berasal dari suami, istri, orang tua, atau anak dari pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Tanpa adanya pengaduan resmi dari pihak-pihak terkait, tindakan tidak dapat diproses oleh aparat penegak hukum. Aturan ini jelas menghalangi umat untuk berpartisipasi melakukan perbaikan jika ada kesalahan, karena ketika masyarakat melakukan penggerebekan, berdasarkan hukum negeri ini, mereka malah bisa dituntut melakukan tindakan tidak menyenangkan atau mengganggu ketertiban.
Demikian pula dengan aturan global seperti Hak Asasi Manusia (HAM), atas nama perlindungan hak asasi oleh negara malah semakin membuat yang awalnya hitam menjadi abu-abu. Setiap tindakan yang mempertontonkan vulgar, erotis, ekploitasi tubuh perempuan maupun pria justru disebut seni dan kreasi. Media juga mempertontonkan konten kekerasan, yang bebas diakses baik oleh dewasa atau anak-anak, bahkan gim daring seperti Roblox yang akhir-akhir ini booming juga mengandung konten tak senonoh. Media tak lagi berfungsi edukasi, melainkan tuntutan berbuat tak manusiawi.
Pendidikan berbasis sekuler juga sangat berpengaruh besar, tajuk kurikulum merdeka sejatinya mengandung konotasi bebas tanpa batas. Tak arahan pasti atau baku, setiap informasi boleh diakses, minim filter dan pendampingan. Seringkali dikaitkan dengan pembentukan karakter Pancasila, yang kalau dikaji lebih dalam sama-sama tak bisa menghasilkan output berkepribadian mandiri, cerdas dan bertakwa. Yang ada nilai literasi rendah, akademik seadanya malah banyak anak didik yang tak bisa baca tulis tapi urusan gaya hidup bebas paling juara. Bebas apapun, beragama, berperilaku hingga berpendapat. Bahkan ada sebuah band asal Korea Selatan yang menisbatkan zero gender alias tidak ingin dimasukkan ke dalam gender apapun, termasuk yang alami seperti pria atau wanita.
Ketika ada jamaah dakwah yang menyerukan amar makruf nahi mungkar dengan cara mengubah sistem berbagai tuduhan terlontar, salah satunya radikal. Lantas siapa yang menjamin akan muncul perubahan jika umat terus dininabobokkan dengan ketidak pedulian dan kebodohan atas agama mereka sendiri?
Akibatnya sangat mengerikan, generasi muda mulai mengalami pergeseran pandangan terhadap relasi dan pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai institusi normatif dengan regulasi yang kompleks. Di sisi lain, mereka melihat kohabitasi sebagai hubungan yang murni, refleksi dari cinta dan daya tarik mutualisme (theconversation.com, 22-2-2024).