DATARIAU.COM - Kebijakan hilirisasi nikel yang dibangga-banggakan pemerintahan Jokowi layak untuk disoal. Pasalnya antara statement dan fakta di lapangan sering bertolak belakang. Hilirisasi nikel sendiri adalah proses pengolahan nikel mentah atau biji nikel menjadi produk akhir yang memiliki nilai tambah tinggi dan dapat diperjualbelikan sehingga bernilai ekonomi.
Dilansir dari kimia.unimudasorong.ac.id, produk yang bisa dihasilkan dari hilirisasi nikel di antaranya adalah logam nikel murni yang dapat menjadi bahan untuk pembuatan kawat listrik, initabung vakum, peralatan kimia, dan industri lainnya. Selain itu, produk dari bijih nikel ini dapat menghasilkan paduan nikel, baterai nikel-kadmium, katalis, dan berbagai bahan lain yang dapat digunakan dalam industri baterai, keramik, sampai alat-alat komunikasi lainnya.
Sekilas tampak kebijakan hilirisasi nikel akan menguntungkan Indonesia. Seperti menurut pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi yang mengatakan bahwa hilirisasi dapat berdampak positif terhadap industri di Indonesia yang akan menaikkan nilai tambah serta menciptakan ekosistem industri yang baik.
Namun kritik pedas datang dari Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance Faisal Basri. Menurutnya kebijakan hilirisasi nikel yang kerap dibanggakan pemerintahan saat ini justru malah lebih menguntungkan negara lain ketimbang industri di dalam negeri.
Pemerintah saat ini memang tidak memiliki strategi industrialisasi yang jelas hingga deindustrialisasi terus terjadi di dalam negeri. Padahal untuk menjadi negara yang maju, suatu negara harus memiliki kemandirian dalam industri.
Dalam Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun Indef di Jakarta, Selasa (8/8/2023), Faisal Basri mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini tdak memiliki strategi industrialisasi, yang ada adalah kebijakan hilirisasi. Sekadar bijih nikel dioleh jadi NPI (nickel pig iron) atau jadi veronikel, lalu 99 persen diekspor ke China. Jadi hilirisasi di Indonesia nyatanya mendukung industrialisasi China.
Berbeda dengan hilirisasi, kebijakan industrialisasi akan meningkatkan perekonomian dari sisi strukur industri lokal serta meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Sementara, hilirisasi yang sementara berjalan untuk nikel nyatanya bukan diolah menjadi produk akhir yang bernilai tinggi. Kebijakan hilirisasi jelas harus dikoreksi karena negara tidak mendapatkan banyak (hasilnya), maksimal 10 persen. Sementara 90 persen hasilnya lari ke China.
Akibat dari deindustrialisasi yang dialami negeri ini, yang terjadi sektor jasa justru lebih mendominasi. Padahal dengan potensi alam luar biasa yang dimiliki negeri ini, Indonesia harusnya bisa menjadi negara industri, atau negara agraris. Namun ternyata lebih dari satu dasawarsa lalu, Indonesia menjelma sebagai negara jasa. Terbukti, bahwa penduduk yang bekerja di sektor jasa sudah lebih banyak daripada yang bekerja di sektor penghasil barang. Masing-masing yakni 55,8 persen dan 44,2 persen per Februari 2022 (laporan Indef).
Hasil Kajian Tengah Tahun Indef juga menyimpulkan, deindustrialisasi telah menjadi fenomena nyata di Indonesia. Kontribusi produk domestik bruto (PDB) industri pengolahan saat ini hanya 18,25 persen. Apalagi peranan sektor industri pengolahan semakin menyusut dari waktu ke waktu. Ini menandakan terjadinya fenomena deindustrialisasi di Indonesia.
Padahal, industrialisasi merupakan salah satu prasyarat penting agar suatu negara terhindar dari middle income trap. Middle income trap merupakan suatu perekonomian yang mengalami penurunan dinamisme ekonomi yang tajam setelah berhasil bertransisi dari status berpenghasilan rendah ke menengah.
Industrialisasi lah yang mampu menggapai status negara maju, bukan sekedar negara berpendapatan tinggi. "Industrialisasi bermakna lebih luas, tidak sebatas mengolah sumber daya alam," apalagi sebatas hilirisasi. Industrialisasi bertujuan memperkuat struktur industri agar kokoh dan berkelanjutan. Sedangkan hilirisasi hanya bertujuan untuk mengolah sumber daya alam agar bernilai tambah kian tinggi, tidak semata-mata keruk jual, tebang-jual atau petik-jual.
Seharusnya negara mendorong industrialisasi, sehingga dapat membuat Indonesia berdaya saing dan mampu mengembangkan budaya industri, tidak sekedar membangun pabrik. Industrialisasi pun dapat memperbanyak porsi pekerja formal, membangun kelas menengah yang mumpuni, mempercepat transformasi perekonomian, serta mengurangi ketimpangan berbagai dimensi. Kebijakan hilirisasi tak akan berhasil membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai target. Bukannya meroket, justru pertumbuhan investasi semakin melambat.