DATARIAU.COM - Mereka datang dari berbagai negara, mengorbankan waktu dan keselamatan demi satu tujuan: menembus blokade Gaza. Namun, kapal-kapal Global Sumud Flotilla itu tak pernah tiba. Diculik di tengah laut oleh mereka yang takut dunia melihat kebenaran. Dan saat kemanusiaan dibungkam, setiap kita punya pilihan: diam, atau bersuara.
Dunia bereaksi cepat. Dari London, Paris, Roma, hingga Brussel jalanan penuh lautan manusia. Mereka muak dengan kesewenang-wenangan Israel, muak melihat penderitaan Gaza yang tak kunjung usai.
Di Maroko, gelombang protes yang dipimpin oleh Gen Z menggema di jalan-jalan Rabat dan Casablanca (Kompas, 4 Oktober 2025). Mereka membawa poster bertuliskan “Hands Off the Flotilla” dan “Justice for Gaza”, meneriakkan kemarahan dan solidaritas yang lahir dari nurani. Bagi mereka, penangkapan kapal Global Sumud Flotilla bukan hanya serangan terhadap para relawan kemanusiaan, tetapi juga tamparan bagi nilai-nilai moral dunia. Dengan semangat muda yang berani, mereka menolak diam di hadapan ketidakadilan, membuktikan bahwa generasi baru Maroko dan dunia tidak akan membiarkan kemanusiaan terus dibungkam di tengah lautan ketakutan dan kekuasaan.
Pencegatan terhadap kapal Global Sumud Flotilla menjadi bukti nyata bahwa Zionis tidak mengenal bahasa perdamaian. Mereka tidak takut pada senjata, tetapi pada kebenaran dan solidaritas manusia. Kapal yang membawa obat dan makanan dianggap ancaman, hanya karena membawa harapan bagi Gaza. Tindakan itu memperlihatkan bahwa bagi Israel, perdamaian bukan tujuan, melainkan alat propaganda sementara yang mereka pahami hanyalah bahasa perang dan penindasan.
Inilah sebabnya mengapa Gen Z harus kritis terhadap narasi Two State Solution. Ide itu tampak damai di permukaan, tapi sejatinya hanyalah tipu daya untuk melanggengkan penjajahan dan menghapus eksistensi Palestina dari peta dunia. Tidak ada “dua negara” di tanah yang satu dirampas dan yang lain dijajah. Yang ada hanyalah satu kebenaran: Palestina berhak atas tanahnya, atas hidupnya, dan atas kemerdekaannya yang utuh. Dan tugas generasi muda hari ini adalah memastikan dunia tidak lagi tertipu oleh kedok “solusi damai” yang hanya menguntungkan penjajah.
Two State Solution sering dipromosikan sebagai jalan damai, tetapi banyak pihak melihatnya dan menutup mata terhadap praktek yang mengkriminalisasi dan menghapus hak-hak dasar rakyat Palestina. Menolak narasi itu bukan seruan kekerasan, melainkan tuntutan agar solusi ditempatkan pada prinsip keadilan, akuntabilitas, dan hak penentuan nasib sendiri ditopang oleh persatuan umat dan kepemimpinan moral yang menegakkan hukum dan kemanusiaan.
Persatuan umat akan terelasiasi dengan kepemimpinan khilafah yang adil dan berpijak pada akal sehat, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak setiap manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam konteks global saat ini, ketika hukum internasional sering kali tumpul di hadapan kekuatan besar dan penderitaan Rakyat Gaza dibiarkan tanpa perlindungan nyata, konsep khilafah menawarkan arah moral yang berbeda. Ia bukan sekadar gagasan politik masa lalu, melainkan cita-cita kepemimpinan yang berakar pada tanggung jawab kolektif umat untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Di bawah khilafah yang adil, kekuatan umat bukan digunakan untuk menindas, tetapi untuk melindungi, memperjuangkan hak-hak tertindas, dan memastikan distribusi kekuasaan serta sumber daya berjalan dengan amanah.
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai; dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan nikmat-Nya kamu menjadi bersaudara..." (QS. Al Imran [3]: 103)
Ayat ini bukan sekadar seruan moral, tapi pedoman strategis bagi kebangkitan umat. Ketika hati kaum Muslim bersatu dalam visi yang sama, maka tidak ada kekuatan penjajahan, tidak ada blokade, dan tidak ada propaganda yang mampu mematahkan semangat mereka. Hari ini, Gaza menanti bukan hanya pasokan makanan dan obat, tapi kebangkitan kepedulian dan bantuan fisik. Ia menanti umat Islam yang sadar bahwa kekuatan sejati ada pada ukhuwah dan kesatuan akidah, bukan pada kepentingan politik yang memecah. Karena selama umat masih terpecah, kezaliman akan terus mencari celah. Tapi ketika umat berdiri sebagai satu tubuh, maka dunia akan kembali mengenal makna keadilan yang hidup dari iman.***