Harga Elpiji Subsidi Mahal di Pengecer, Pemerintah Geger Bikin Rakyat Teler

Oleh: Trisia Harmita
datariau.com
1.441 view
Harga Elpiji Subsidi Mahal di Pengecer, Pemerintah Geger Bikin Rakyat Teler
Ilustrasi. (Foto: Internet)

DATARIAU.COM - Satu babak drama kembali dipertontonkan oleh aparat negara. Dan lagi-lagi yang menjadi obyek dramanya adalah rakyat. Drama regulasi distribusi LPG atau elpiji hingga menyebabkan kelangkaan bahan bakar untuk makanan juga sampai memakan korban jiwa.

Sungguh pedih menjadi jelata. Berawal dari keterkejutan Menkeu Sri Mulyani karena mahalnya harga jual elpiji yang beredar. Padahal, negara melalui pihak Pertamina mematok harga jual elpiji subsidi 3 Kg hanya Rp 12.700 saja.

Namun fakta lapangan membuktikan harga jual elpiji justru melambung bahkan mencapai Rp 20 ribu lebih di tingkat pengecer. Inilah yang memicu Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia me-reset regulasi distribusi LPG.

Mirisnya, kebijakaan yang diambil ibarat mata pisau yang hanya tajam sebelah. Pihak pengecer tidak lagi diizinkan untuk menjual LPG. Namun masyarakat diwajibkan untuk membeli LPG langsung ke pihak pangkalan.

Dan di sinilah puncak dramanya. Antrian panjang masyarakat di pangkalan-pangkalan gas mengular hingga berjam-jam. Bahkan di dalam banyak video yang beredar, masyarakat memburu truk distributor gas yang hendak menuju pangkalan gas LPG.

Adalah Yonih, seperti yang dikabarkan oleh Tempo (8/2/2025), nenek berusia 62 tahun penjual kopi dan gorengan, meninggal dunia setelah lelah mengarak 2 tabung gas 3 kg ke pangkalan gas.

Dua jam lebih Yonih mengantri, begitu gilirannya tiba, malangnya Yonih tidak membawa KTP sebagai syarat pembelian LPG. Terpaksalah ia kembali ke rumah mengambil KTP sembari mengarak 2 tabung gas lagi.

Begitu urusannya selesai dan sampai di rumah, Yonih terduduk, dan jiwanya pun berangsur terbang meninggalkan raga. Siapa yang harus bertanggung jawab atas lelahnya Yonih? Usianya, staminanya, pangkalan gas, atau justru negara yang menyulitkannya?

Sungguh pedih menjadi jelata. Setelah kehebohan LPG ini menjadi viral di tangan netizen, akhirnya Presiden Prabowo menginstruksikan kembali agar LPG tetap diperbolehkan untuk dijualbeli di kalangan pengecer di warung-warung kecil. Hanya saja ada syaratnya, yaitu pengecer harus menjadi sub-pangkalan agar terdaftar secara resmi.

Sejauh ini belum ada syarat pasti menjadi sub-pangkalan yang diumumkan oleh negara. Yang pastinya, negara justru mendukung warganya yang ingin menjadi pangkalan LPG resmi Pertamina.

Syaratnya adalah beberapa dokumen seperti KTP, NPWP, bukti kepemilikan lahan, bukti saldo rekening, akta pendirian badan usaha, surat referensi dari bank, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Keterangan Catatan Kepolisian ( SKCK), dan surat pernyataan komitmen bermaterai untuk mendanai penyediaan sarana agen LPG.

Bukan main ketatnya syarat menjadi pangkalan LPG. Dan bukan hal yang mudah pula untuk mengantongi izinnya, serta tidak mudah diakses oleh masyarakat luas. Adakah perizinan kepemilikan tanah di bibir pantai Tangerang dan pembangunan pagar lautnya seperti ini pula?

Lihatlah kenyataan, hari ini negara tidak memiliki posisi untuk mengatasi penderitaan rakyat. Negara hanya berfungsi sebagai regulator. Di saat rakyat mengikuti regulasinya, maka dibukalah jalannya. Sementara pembiayaannya tetap didanai oleh keringat rakyat. Slogan "No Free Lunch" alias tidak ada makan siang yang gratis itu memang nyata adanya dalam negara kapitalisme, kecuali MBG dengan segala pelik permasalahannya.

Tingginya harga jual di tingkat pengecer juga disebabkan banyaknya turunan usaha yang dilewati hingga sampai di tangan konsumen. Negara melalui Pertamina mendistribusikan LPG kepada para agen. Agen di sini tentu bukanlah pihak negara, melainkan individu yang memiliki izin usaha sebagai pedagang tangan kedua.

Dari agen, LPG kemudian didistribusikan lagi ke tingkat yang lebih rendah yaitu pangkalan-pangkalan gas resmi yang juga mengantongi izin usaha. Dan tingkat yang paling rendah adalah para pengecer alias warung-warung kecil sebagai pedagang tangan keempat. Maka tidak mengherankan bila harga LPG sampai ke tangan konsumen menjadi tinggi karena banyaknya pintu-pintu usaha yang dilalui.

Seharusnya, negara melalui Pertamina secara langsung mengecer LPG di lapangan. Ini bila negara memang serius untuk memurahkan harga LPG untuk rakyat. Hanya saja, rakyat harus rela mengantri sebagaimana mengantri saat pembelian BBM.

Namun sebagian besar netizen di berbagai media sosial mengatakan bahwa sebenarnya rakyat juga tidak terlalu keberatan membeli LPG di tingkat pengecer dengan harga yang sudah ada. Sebab hal itu telah memudahkan akses mereka untuk mendapatkan LPG tanpa repot antrian.

Tak heran jika pengecer mengambil untung bila masih dalam jumlah yang wajar. Hanya saja, pihak yang sebenarnya paling heboh memperkarakan harga yang tinggi untuk LPG adalah negara sendiri. Padahal bila pajak yang semakin tinggi, negara sama sekali tidak pernah menghebohkannya.

Di lain hal, negara menganggap segala hasil bumi adalah milik negara. Buktinya negara berjual beli dengan sistem subsidi bagi rakyat berekonomi lemah. Termasuk dalam hal ini adalah LPG, selain listrik dan BBM. Inilah kedzaliman yang nampak biasa saja hari ini.

Padahal kekayaan alam termasuk tambang dan energi bumi sejatinya adalah milik rakyat yang harus dinikmati oleh rakyat untuk pemanfaatannya, bukan dimiliki oleh negara. Negara hanya sebatas pengelola agar pemanfaatan energi dan tambang bumi dirasakaan oleh rakyat seluas-luasnya. Konsep kepemilikan seperti inilah yang sama sekali tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme.

Rasulullah shalallahu alaihi wasalalm berkata bahwa "Kaum muslim berserikat atas tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api." (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Berserikat dalam hal ini maksudnya adalah memilikinya secara bersama-sama demi kepentingan bersama. Tidak boleh dikuasai individu, kelompok, bahkan negara. Dan manfaat yang diambil dari ketiga perkara ini adalah hak rakyat, tidak dipungut biaya apapun, kecuali untuk pengganti biaya produksi saja.

Gas alam berupa LPG yang digunakan untuk memasak hari ini, harusnya adalah milik rakyat yang penggunaannya bisa dinikmati sebesar-besarnya oleh rakyat tanpa biaya apapun. Namun nahas di tangan kapitalisme, rakyat harus merogoh kocek yang dalam untuk mendapatkannya, bahkan hingga kehilangan nyawa.

Islam memfungsikan negara sebagai raain, pengurus umat yang betul-betul memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya. Negara juga adalah junnah, pelindung rakyatnya, sebagai tameng dari segala ancaman, baik ancaman negara asing ataupun dari ancaman kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan. Bukan sebagai pemasok komoditas rakyat lalu berlaku sebagai penjual kepada rakyatnya.

Sungguh malang menjadi jelata. Cukuplah penderitaan sampai di sini saja. Sampai kapan model kehidupan seperti hari ini harus dipertahankan? Masih kurangkah derita rakyat? Atau memang rakyat sendiri yang telah akrab dengan penderitaan hingga susah untuk lepas dari pelukan kejam kapitalisme. Sementara di lain tempat, ada jelata yang dirajakan, namun malah dianggap sebelah mata dan ditinggalkan.

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS Al Maaidah: 50). ***

JIKA MENEMUKAN BERITA KAMI TIDAK SESUAI FAKTA, SEGERA HUBUNGI 0813 3966 1966 (Chat WhatsApp Only)