DATARIAU.COM - Indonesia kembali berduka, kali ini datang dari kalangan santri yang sedang menuntut ilmu, belajar Islam. Tragedi ambruknya bangunan pondok pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban. Ada rindu yang belum sempat disampaikan, ada cita-cita yang belum sempat digapai.
Mengulik dari tragedi naas ini, diduga penyebabnya bangunan yang tidak kokoh, akibat kurang perhitungan terkait keamanan dalam pengerjaan bangunan.
Lalu, apa sebenarnya fakta yang terjadi? Mengapa sampai menelan banyak korban? Dan bagaimana Islam -dalam kapasitas sebuah negara- menyikapi persoalan seperti ini?
Fakta yang terungkap
Dari berbagai laporan media, ditemukan beberapa hal terkait penyebab terjadinya tragedi tersebut.
Pakar Teknik Sipil Struktur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mudji mengatakan, struktur bangunan yang ambruk di Ponpes Al Khoziny dalam keadaan tidak stabil atau labil. Ini karena konstruksi bangunan awalnya direncanakan untuk satu lantai, tapi kemudian dibangun tiga lantai.
Pembangunan tersebut tidak sesuai kaidah teknis, dikarenakan beban yang terus ditambah hingga lantai 3, tetapi tidak dihitung dan direncanakan sejak awal. Perlu adanya pendampingan, ahli teknik, khususnya kontruksi bangunan.
Selain itu, ada dugaan kuat pengecoran yang belum matang. "Kalau ada gedung baru, terus dibangun bertahap, ada kekhawatiran umur pengecoran belum cukup. Ibaratnya, beton masih lemah karena belum matang sudah ditambah beban baru. Minimal 14 hari, idealnya 28 hari untuk mencapai kekuatan yang memadai," jelasnya dalam laman resmi UM Surabaya, dikutip Senin (6/10/2025).
Terkait jumlah korban, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) resmi menutup operasi pencarian dan pertolongan korban di hari ke-9, Selasa (7/10). Hingga akhir pencarian, Basarnas mencatat korban ambruknya Gedung Pondok Pesantren Al Khoziny berjumlah total 171 orang. Terdiri dari 104 selamat, 67 meninggal dunia, termasuk 8 body part atau bagian tubuh.
Inilah yang terjadi ketika bangunan tampak kokoh, tapi faktanya rapuh. Hal ini memicu dampak serius pada masyarakat ataupun para wali santri, yang kehilangan rasa aman menitipkan anaknya di pondok pesantren.
Lantas bagaimana pandangan Islam tentang penyediaan fasilitas pendidikan yang aman, nyaman, dan berkualitas?
Dalam sistem Islam, negara berkewajiban mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan, mulai dari kurikulum, bahan ajar, metode pengajaran, sarana dan prasarana sekolah, hingga mengupayakan pendidikan dapat di akses rakyat secara mudah.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Seorang imam (Khalifah/kepala negara) adalah pemelihara atau pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya" (HR. Bukhari dan Muslim)
Negara memenuhi sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar guru dan siswa. Semua jenjang pendidikan harus memiliki fasilitas yang sama. Negara berperan aktif dalam melengkapi sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program pendidikan. Sarana tersebut bisa berupa gedung sekolah, ruang kelas, musholla, asrama siswa, kantor guru, aula sekolah dan sebagainya.
Selanjutnya terkait pembiayaan, Islam menetapkan pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fa'i dan kharaj serta pos milkiyyah 'amah (kepemilikan umum). Jika harta di Baitul Mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, negara akan meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim yang mampu.
Demikianlah, dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban memenuhi tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa terkecuali. Wallahu a'lam bisshawabb.***