"Kegagalan Sistem Sekuler dari Rahim Institusi Pendidikan, Melahirkan Generasi Pembully"

Oleh: E. Maznah Awiyah
datariau.com
268 view
"Kegagalan Sistem Sekuler dari Rahim Institusi Pendidikan, Melahirkan Generasi Pembully"
Ilustrasi. (Foto: Internet)

DATARIAU.COM - "Sejatinya tidak ada satupun perbuatan ataupun tindakan yang disebut elegan dari perbuatan bullying. Apalagi jika sampai ada nyawa yang menghilang, karena pada akhirnya kata maaf pun tidak akan lagi punya arti, sebab nyawa yang hilang tidak akan terganti" (Anonim)

Intermezo

Bullying adalah realisasi konkret dari perilaku kekerasan yang dibarengi dengan tindakan intimidasi kepada orang lain, baik secara fisik, verbal, sosial, cyber maupun psikis. Perbuatan bullying, suka atau tidak suka saat ini mulai menjadi tren yang viral. Ibarat benalu, fenomena bullying telah membegal dan memutilasi batas zona aman dalam circle dunia pendidikan kita, membuat lembaga pendidikan menjadi rentan dengan tindakan kekerasan.

Bagi pelakunya, bullying adalah sebuah pride untuk mengekspresikan eksistensi kekuatan superior terhadap orang lain. Sedangkan bagi korbannya, bullying adalah manifestasi dari intimidasi traumatik yang menciptakan rasa insecure serta penghancuran kesehatan mental yang berujung pada disfungsi sosial.

Ironisnya lagi, kasus bullying ini terjadi hampir di semua lini pendidikan, baik itu tingkat SD, SMP, SMA, SMK, dan juga pendidikan tinggi seperti mahasiswa, pasca sarjana dan bahkan sampai di level dokter residen (dokter spesialis yang sedang menjalani masa magang). Astagfirullah hal'adzim...

Siswa SD di Riau Tewas Akibat Bullying


Teranyar, inisial KB, 8 tahun, seorang murid SD kelas 2 di Kabupaten Indragiri Hulu, meninggal dunia pada Senin 26 Mei 2025, setelah mengalami bullying oleh lima orang kakak kelasnya. Para pelaku diduga menganiaya KB pada Senin 19 Mei 2025. Ironisnya, karena usia kelima pelaku bullying masih terkategori anak dibawah umur (di bawah 12 tahun), maka mereka tidak dapat dipidanakan. Hal ini sinkron dengan Undang-Undang (UU) Sistem Peradilan Pidana Anak, Nomor 11/2012, sehingga akhirnya pihak kepolisian mengambil keputusan untuk mengembalikan lima pelaku kepada pengampu mereka yaitu orang tuanya, www.tempo.co (6/6/2025).

Sejujurnya, saya sangat kontra dengan pernyataan "anak dibawah umur" untuk tindakan kriminal yang telah dilakukan oleh para pelaku. Mengapa? Karena mereka harus diajarkan prinsip reward dan punishment dalam kehidupan ini, itulah aktualisasi dari disiplin hidup. Apalagi tindak pidana yang dilakukannya sudah termasuk kategori perbuatan orang dewasa. Melakukan intimidasi, penganiayaan secara fisik, lalu korbannya meninggal dunia. Bukankah itu selevel perbuatan tindak pidana membunuh?

Tidak boleh tidak! Meski pelaku masih terkategori anak dibawah umur, hukuman yang memberikan efek jera harus diberikan sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Namun tentu saja harus selaras dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk subjek hukumnya adalah anak. Sebab jika tidak, apakah ada jaminan dimasa yang akan datang mereka tidak akan melakukan tindakan kriminal lagi? Wadidaw!

Data Statistik Kasus Bullying

Data statistik kasus bullying di Indonesia, yang diakumulasikan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat bahwa tindakan kasus kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan kita mengalami eskalasi yang sangat signifikan. Sebagai komparasi, jumlah kasus bullying yang terjadi pada 2020: 91 kasus, 2021:142 kasus, 2022: 194 kasus, 2023: 285 kasus dan 2024: 573 kasus, kbr.id (30/12/2024).

Seyogyanya fakta ini tidak bisa dianggap wajar. Harus ada tindakan yang preventif dan represif oleh otoritas yang berwenang. Jangan pernah meminimalisir substansi dari bullying karena berpotensi mendesainnya menjadi sebuah kultur lintas generasi.

Akar Penyebab Bullying


"Sugestikan dalam dirimu, bahwa hidup ini tak melulu tentang eksistensi pribadimu, melainkan juga tentang eksistensi orang-orang di sekitarmu. Jadi, berhentilah menyakiti mereka. Stop Bullying!" (Anonim)

Sebagai entitas terkecil dalam masyarakat, keluarga adalah merupakan tempat dan pondasi utama untuk tumbuh kembang anak. Keluarga adalah "rumah" yang akan mereka tuju untuk pulang, untuk mendapatkan kehangatan pelukan, atensi, pengayoman, didikan agama (spiritual), dan nilai-nilai budi pekerti. Sehingga nilai etika dan norma sosial yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat harus diajarkan kepada mereka sejak dini.

Orang tua harus menjadi role model utama bagi pendidikan karakter anak tersebut. Tidak hanya secara fisik tapi juga secara psikis, dimana orang tua berperan aktif dalam mendukung perkembangan emosional, kognitif, dan sosial anak.

Menjadi catatan penting bagi orang tua bahwa ada banyak kasus bullying terjadi, berasal dari konflik keluarga yang dibarengi dengan tindakan kekerasan serta pengabaian eksistensi anak dalam circle keluarga. Hal ini seringkali menjadi trigger bagi seorang anak untuk berperilaku agresif dan nirempati terhadap orang lain.

Perlu dipahami, bahwa sebenarnya tantangan terbesar bagi pembentukan karakter generasi saat ini, terutama bagi generasi Z (1997-2012), dan Generasi Alpha (2013-2024) dan juga generasi Beta nanti (2025-2039), adalah interaksi sosial dan kolaborasi era digital virtual yang begitu instan dan cepat. Dampaknya menciptakan individu yang individualis, dengan sikap apatis yang tinggi serta materialistis yang hedon dan jauh dari nilai-nilai agama.

Di era society 5.0, platform digital menjadi akses utama media advertensi dari nilai-nilai yang kontradiksi dengan kultur dan moralitas orang timur. Substansi yang dipertontonkan seringkali mengekspos tindakan bullying, ujaran kebencian, dan perilaku kekerasan agresif, yang menjadi acuan perilaku normatif generasi muda. Akibatnya, semua perilaku negatif tersebut diadopsi ke dalam circle pertemanan sosial mereka.

Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran terbesar bagi kita, jika tidak diimbangi dengan penanaman pemahaman dasar tentang etika, moral, rasa empati, serta toleransi didalam diri mereka sejak dini. Lalu dikolaborasikan dengan pemahaman agama (spiritual) yang mendalam untuk mengkorelasikan semua hal tentang hidup ini kembali kepada sang penciptanya, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala.

Kegagalan Sistem Sekuler dari Rahim Institusi Pendidikan, Melahirkan Generasi Pembully


Sistem kapitalisme sekuler saat ini, telah menjadikan akses pendidikan sebagai alat komersialisasi. Pendidikan karakter anak yang berbudi pekerti luhur hanya tinggal slogan dan visi misi yang tertempel di dinding-dinding sekolah dan perguruan tinggi.

Mirisnya, peran institusi pendidikan hanyalah sebagai fasilitator pencetak para pekerja semata. Fokus pendidikan hanya di orientasikan pada nilai-nilai akademik, sementara nilai-nilai moral dan spiritual tidak menjadi prioritas dalam pendidikan pembentukan dan pengembangan karakter anak. Kalaupun ada, hanya sebatas teori tanpa implementasi nyata dalam aktivitas kehidupan sehari-harinya. Pada akhirnya, kegagalan sistem sekuler dari rahim institusi pendidikan, malah melahirkan para pembully lintas generasi tanpa solusi tuntas yang berintegritas.

Related dengan hal tersebut, jadi bukan sesuatu yang absurd jika ada seorang lulusan perguruan tinggi tapi minus adab dan akhlak, menggunakan ijazah palsu atau ijazah beli untuk melamar pekerjaan atau untuk syarat menjadi seorang politisi. Atau seorang intelektual yang memanipulatif hak orang lain dengan jabatannya atau otoritasnya untuk melakukan perbuatan korupsi. Atau seorang anak yang melakukan bullying kepada temannya yang berbeda strata dengan level pendidikannya atau bahkan level kehidupannya. Tidak, itu sudah menjadi sesuatu yang "biasa". Apalagi jika perilaku nir etika itu dilakukan oleh orang-orang selevel "pemimpin". Auto perbuatannya menjadi panutan amoral bagi rakyatnya. Wadidaw!

Bullying dalam Persepsi Islam dan Solusinya


Sejatinya bullying merupakan konkretisasi dari ringkihnya peran negara dalam mengkolaborasikan nilai-nilai dasar dari etika serta moral dalam institusi pendidikan. Padahal sistem pendidikan yang baik, seharusnya mampu mendesain pembentukan karakter generasi muda yang berintegritas dengan nilai-nilai moral (benar/salah) dan norma-norma sosial (baik/buruk) yang berkualitas dengan berlandaskan agama, baik dari segi fikrah maupun thariqohnya.

Dalam Islam, implementasi nilai-nilai etika, moral dan akhlak merupakan prioritas utama dan solusi yang komprehensif, yang harus diintegrasikan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari sejak kecil di lingkungan keluarga yang diajarkan oleh orang tua, terutama ibu. Kenapa? Karena "al Ummu Madrasatul ula", artinya ibu adalah madrasah pertama bagi pembentukan dan pengembangan karakter setiap anak-anaknya. Sebab itu sosok ibu memiliki peran penting dalam institusi yang disebut keluarga, tanpa mengabaikan peran krusial seorang ayah sebagai kepala keluarga.

Bahkan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam diutus oleh Allah Subhanahu Wata’ala adalah untuk menyempurnakan akhlak umatnya. Sebagaimana hadits Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi: "Innamaa bu'itstu liutammima makaarimal akhlaaq". Yang artinya, "Sesungguhnya aku diutus (di muka bumi) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak."

Sesungguhnya Islam adalah agama yang rahmatan lil'alamin. Yang menerapkan kedisiplinan, konsistensi, kontinuitas, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama manusia, dengan pembentukan karakter yang terpuji.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam QS Al-Hujuraat, ayat 11, yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri."

Ayat ini jelas menyatakan larangan, agar jangan menyakiti dan mengintimidasi orang lain, baik secara fisik maupun secara verbal. Bullying dilarang di dalam Islam, dan merupakan perilaku keji (fahsya'). Dan jika ditinjau dari segi hukumnya Bullying adalah haram. Partisipasi aktif dari masyarakat dan negara, tentu saja akan mampu mendorong terciptanya circle yang kondusif dan inspiratif bagi proses tumbuh kembang anak dan keberlangsungan kehidupannya.

Dalam sistem Islam, negara sebagai pemegang otoritas tertinggi memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengimplementasikan seluruh regulasi syariat Islam. Baik dalam mengelola maupun menyelesaikan semua urusan-urusan umat. Termasuk menjaga akhlak, aqidah dan moral umat dari aspek-aspek yang mungkin berpotensi merusak dan melemahkan pembentukan karakter kepribadian generasi muslim. Negara menjamin rasa keadilan dan keamanan bagi setiap orang tanpa adanya diskriminasi.

Penutup


"Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya. Dan orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah.” (HR Muslim)

Wallahu a'lam Bishawab.***

JIKA MENEMUKAN BERITA KAMI TIDAK SESUAI FAKTA, SEGERA HUBUNGI 0813 3966 1966 (Chat WhatsApp Only)