DATARIAU.COM - Masyaa Allah. Sebuah kata yang menyertai debat capres dan cawapres pekan lalu. Karena ada salah satu kata "unicorn" yang pernah terdengar namun masih ambingu dalam ingatan kita. Karena rupanya kata tersebut bukanlah bermakna kuda bertanduk seperti di iklan-iklan jika dikaitkan dengan perekonomian.
Kata tersebutlah yang membuat capres nomor urut 02 Prabowo semakin antusias menumbangkan lawan debatnya capres nomor urut 01 Jokowo Widodo. Prabowo Subianto khawatir perkembangan unicorn justru mempercepat larinya dana asal Indonesia ke luar negeri. Pernyataan tersebut dilontarkan setelah Joko Widodo menanyakan strategi Prabowo membangun infrastruktur untuk mendorong Unicorn asal Indonesia.
Lalu apa sebenarnya Unicorn?
Unicorn adalah sebutan bagi start up alias perusahaan rintisan yang bernilai di atas 1 miliar dollar AS atau setara Rp14 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar). Saat ini menjamurnya unicorn di Indonesia tak lepas dari besarnya ekonomi digital Indonesia diprediksi akan tumbuh empat kali lipat pada tahun 2025 yakni mencapai angka 100 miliar dollar AS.
Di Asia Tenggara, ada 7 perusahaan unicorn, 4 di antaranya berada di Indonesia. Perusahaan tersebut adalah Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Karena Pemerintah Indonesia menargetkan tahun 2019 ini ada start up yang bisa menjadi unicorn kelima. (Tribunnews.com, 12/02/19).
Memiliki perusahaan start up alias perusahaan rintisan yang bernilai di atas 1 miliar Dollar Amerika Serikat atau setara Rp 14 triliun, itu memang wow banget. Tapi perlu diingat, apa yang dimaksud dengan 'memiliki'. Memiliki itu bukan bermakna yang memimpin, yang berdomisili. Dalam bisnis era kapitalis saat ini yang umumnya berasas pada perseroan saham (PT), yang 'memiliki' maknanya adalah yang menguasai mayoritas saham.
Jadi, jangan bangga dulu Indonesia memiliki star up yang masuk empat unicorn terbesar di Asia tenggara, yaitu GoJek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Yang perlu dicek itu, siapa yang memiliki saham mayoritas atas GoJek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak?
Keuntungan itu mengikuti modal, semakin besar modal ditanam semakin besar keuntungan yang dituai. Itu mahzab kapitalis. Jadi, yang dapat untung besar itu bukan Achmad Zaky selaku CEO Bukalapak tapi pemegang saham mayoritas Bukalapak. Achmad Zaky mah cuma buruh, yang dibayar bulanan oleh pemegang saham.
Sama persis dengan logika, jangan cuma menghitung berapa jumlah total lifting minyak di Indonesia. Tapi, siapa yang punya minyak itu? Yang punya hak itu? Apakah Chevron, Conoco, Philips, atau Pertamina? Wajar saja, jika kemudian Indonesia produksi minyak besar tapi masih Import BBM untuk konsumsi rakyat.
Kembali ke persoalan star up, tantangan bisnis kedepan itu bukan sekedar membuat star up, tapi menjadikan UMKM atau siapapun pribadi rakyat di negeri 'memiliki' usaha dan 'keuntungan' di negeri sendiri. Bukan sekedar 'kepemilikan' atas nama, padahal dia hanya buruh di negerinya sendiri.
Dan yang paling penting itu, bagaimana memproduksi barang secara massal, yang berkualitas, berbiaya produksi rendah, memiliki nilai jual yang kompetitif, sehingga menguntungkan. Disinilah peran negara harusnya terlibat, bukan hanya berbusa bicara starup, unicorn, dan istilah artifisial yang tidak membumi dan menjadikan pengusaha lokal tidak berdaulat di negeri sendiri.
Meskipun ada bukalapak, kalau produk UMKM lokal tidak di-suport negara, tidak ada keberpihakan negara, negara justru membuka keran Import, maka jualan rakyat sendiri itu hanya akan menjadi barang sisa. Pembeli akan menyerbu produk asing (China) yang lebih berkualitas dan harga lebih murah, karena negara China mendukung dan mengawal penuh proses produksi massal barang mereka.
Lalu bagaimana dengan pengusaha lokal? Harus berjibaku sendiri. Pajak besar, cost labour tinggi, cekak modal, kebijakan pemerintah pro produk Import, lah produk lokal begini mana bisa dibiarkan 'tarung bebas' bersaing dengan produk China? Negara harusnya mengayomi pengusaha lokal, tapi malah buat ring tinju untuk tarung bebas. Ya bonyok pengusaha lokal bertarung dengan produk China.
Tentunya kita tidak bisa menyalahkan preferensi pasar. Customer itu pasti memilih barang yang lebih berkualitas dan lebih 'murah'. Dia tidak peduli, barang itu diproduksi oleh si Bejo, Joko, Gareng, Petruk, atau oleh Liew Shiem Lung. Yang penting, cari yang paling murah. Apalagi situasi ekonomi sedang sulit, pilih barang murah itu pilihan rasional.
Jadi, sebagai muslim dan warga yang cerdas, harus banyak mikir negara ini memiliki pasar untuk siapa? Rakyat atau untuk China? Star-up itu dibangun untuk nguntungin rakyat atau asing? Wallahualambisshowab. (*)