PEKANBARU, datariau.com - Seorang mahasiswi Universitas Riau
(Unri) angkatan 2018 diduga mengalami pelecehan seksual oleh Dosen Pembimbingnya (Dospem) yang juga seorang dekan. Peristiwa
terjadi ketika korban mendatangi pelaku untuk
melakukan bimbingan skripsi, Rabu
(27/10) sekitar pukul 12.30 WIB. Mulanya, kata korban, pelaku menanyakan
beberapa pertanyaan yang menjurus ke arah personal, seperti pekerjaan dan
kehidupan korban.
?Namun
dalam percakapan tersebut, beberapa kali pelaku mengatakan kata-kata yang
membuat saya tidak nyaman, seperti ia mengatakan ?I love you? yang membuat saya
merasa terkejut dan sangat tidak menerima perlakuan Bapak tersebut,? kata
korban dalam videonya di Instagram @mahasiswa_universitasriau dikutip pada
Jumat (5/11/2021).
Tak hanya
itu, pelaku menggenggam kedua bahu korban, lalu memegang kepala korban dengan
kedua tangannya, lalu mencium pipi kiri dan kening korban.
?Saya
sangat merasa ketakutan dan langsung menundukkan kepala saya. Namun pelaku
segera mendongakkan kepala saya dan ia berkata, ?Mana bibir, mana bibir? yang
membuat saya sangat terasa terhina,? kata korban.
Korban
pun langsung mendorong pelaku, lalu meninggalkan ruangan dekan. Lalu korban
mengadu ke salah satu dosen jurusannya dan meminta untuk menemaninya bertemu
ketua jurusan. Tetapi, bukannya mendapat pertolongan, korban justru mendapat
intimidasi.
Bahkan,
kata korban, dosen tersebut mengancam agar dia tidak menceritakan kejadian
tersebut kepada siapapun. Dosen itu juga menyampaikan perbuatan pelaku
merupakan kekhilafan. ?Saya hanya disuruh bersabar saja, tabah saja tanpa perlu
mempermasalahkan kasus pelecehan seksual yang menimpa saya,? ujarnya.
Insiden
yang menimpa mahasiswi Unri itu merupakan satu dari banyak kasus kekerasan
seksual yang terjadi di kampus. Pada April 2021, seorang Dosen Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember (Unej) berinisial RH ditetapkan
sebagai tersangka kasus pencabulan terhadap keponakannya sendiri yang merupakan
mahasiswa kampus tersebut.
Kasus
lain, Rektor Universitas PGRI Argopuro (Unipar) Jember berinisial RS mengakui
telah melakukan pelecehan seksual kepada seorang dosen wanita di sebuah hotel
di Pasuruan, Jawa Timur dalam sebuah acara diklat pada Juni 2021. Ia lantas
mengundurkan diri lantaran permintaan pihak yayasan.
Tirto
pada 2019 membuat seri laporan mendalam #NamaBaikKampus, berkolaborasi dengan
The Jakarta Post, dan VICE Indonesia terkait pelbagai dugaan kekerasan dan
pelecehan seksual di perguruan tinggi di Indonesia.
Lewat
formulir testimoni yang kami buka akses ke publik dan disebar ke masing-masing
media sosial yang terlibat kolaborasi, sejak 13 Februari hingga 28 Maret 2019,
kami mendapati ada 207 orang memberikan testimoni. Setelah membaca satu per
satu testimoni, kami menemukan ada 174 kasus yang berhubungan dengan institusi
perguruan tinggi.
Artinya,
kasus-kasus kekerasan seksual itu terjadi di kampus atau dilakukan oleh sivitas
akademika atau terjadi di luar kampus tapi dalam acara-acara resmi, seperti
kuliah kerja nyata (KKN), magang, atau acara kemahasiswaan. Para penyintas yang
menulis untuk testimoni tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 perguruan
tinggi.
Mayoritas
atau sekitar 88 persen dari total penyintas berasal dari kampus-kampus di Pulau
Jawa. Semarang dan Yogyakarta menjadi dua kota dengan jumlah penyintas paling
banyak yang mengisi form testimoni kolaborasi. Laporan lengkapnya bisa dibaca
di link ini.
Komnas
Perempuan juga merilis laporan kekerasan seksual pada Oktober 2020 yang
menunjukkan terdapat 27% aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di
perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020.
Selanjutnya
survei Direktorat Jenderal Kemendikbudristek (2020) mencatat 77% dosen
mengatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63% dari mereka
tidak melaporkan kasus.
Melihat
maraknya tindak asusila di kampus, Mendikbudristek Nadiem Makarim mengeluarkan
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
?Peraturan
tersebut mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur secara spesifik sehingga
menyebabkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi selama ini tidak
tertangani sebagaimana mestinya," kata Plt. Kepala Biro Kerja Sama dan
Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, Anang kepada reporter Tirto, Kamis
(4/11/2021).
Dia
mengklaim substansi Permendikbusristek PPKS sejalan dengan tujuan pendidikan
yang diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia.
?Kekerasan
seksual merupakan salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan
tersebut,? kata dia.
Koalisi
Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengapresiasi terbitnya
Permendikbud 30/2021 ini. Menurut Koalisi yang terdiri dari 101 lembaga,
kolektif, dan organisasi yang fokus mengenai kekerasan seksual itu, aturan
tersebut merupakan langkah maju negara menghadirkan perlindungan bagi korban
kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.
?Peraturan
ini merupakan langkah strategis yang menunjukkan komitmen negara dan perguruan
tinggi dalam merespons tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi di
lingkungan kampus,? kataNur, anggota KOMPAKS Jum?at (5/11/2021). (*)
Source : tirto.id