DATARIAU.COM - Bullying atau perundungan merupakan salah satu dosa besar pendidikan. Bagaimana tidak, sekolah yang semestinya sebagai tempat mendidik generasi dan bisa memberikan rasa aman, justru menjadi tempat lahirnya bullying.
Kasus terbaru, Dinas Pendidikan Kota Medan, Sumatera Utara memeriksa wali kelas SD Swasta Abdi Sukma setelah viral video seorang siswa dihukum duduk di lantai karena menunggak pembayaran SPP selama tiga bulan. Insiden ini memicu reaksi luas dan kecaman dari masyarakat (beritasatu.com, 11-01-2025).
Makin ke sini, kasus bullying makin banyak dan beragam bentuknya. Mulai dari bullying verbal hingga penganiayaan fisik yang berakhir pada kematian. Tentu ini merupakan fakta yang sangat menyesakan dada. Terlebih, bullying juga dilakukan oleh pendidik, yang semestinya menjadi teladan.
Kapitalisasi Pendidikan
Sejatinya pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Namun, hari ini pendidikan tidak luput dari kapitalisasi. Kondisi dimana pendidikan diperlakukan sebagai produk yang diperjualbelikan. Akibatnya, sektor pendidikan yang harusnya berfokus pada kualitas pendidikan, beralih fokus kepada keuntungan materi.
Kapitalisasi pendidikan juga memicu persaingan sengit antar lembaga pendidikan. Hal ini justru menjadikan lembaga pendidikan hanya berfokus pada reputasi dan status mereka di pasaran dunia pendidikan, daripada fokus pada perbaikan kualitas pendidikan generasi. Alhasil, ketidaksetaraan mendapatkan akses pendidikan pun terjadi. Orang-orang yang tidak mampu kesulitan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Negara hari ini memang menyerahkan sektor pendidikan pada swasta yang berorientasi pada keuntungan. Ini menandakan kapitalisasi sektor pendidikan, karena pendidikan justru dijadikan sebagai ladang bisnis. Akibatnya, biaya pendidikan begitu mahal dan tidak semua orang bisa menjangkaunya. Tak heran, terjadi aksi pembullyan karena kesulitan untuk membayar administrasi sekolah. Tentu, hal ini tidak akan terjadi ketika negara memberikan jaminan pemenuhan pendidikan secara gratis dan berkualitas.
Akar Persoalan
Kasus bullying di lingkungan pendidikan tentu tidak muncul dengan sendirinya. Terdapat faktor yang memicunya, yaitu sistem kehidupan sekuler. Sistem ini telah memisahkan aturan agama dari kehidupan sebagai asasnya. Kurikulum pendidikan tidak dibangun menggunakan akidah Islam, sebagai landasan untuk membentuk kepribadian anak didik sekaligus pengajarnya. Akibatnya, lahirlah guru dan generasi yang minim empati, niradab dan jauh dari akidah Islam.
Dalam sistem sekuler kapitalisme, negara juga tidak hadir untuk mengurus kebutuhan pendidikan rakyatnya. Pendidikan dikapitalisasi, sehingga tidak semua rakyat bisa mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas. Kalaupun ada pemenuhan pendidikan gratis, itu hanya ditingkat SD dan SMP, disamping itu kualitas pendidikan yang diberikan tidak merata.
Sesungguhnya, bullying merupakan dampak dari akar persoalan hari ini, persoalan yang bersifat sistemis, yaitu akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang memberikan pengaruh dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam aspek pendidikan.
Butuh Sistem Alternatif
Tidak ada jalan lain untuk menghentikan kasus pembullyan yang begitu masif, kecuali dengan memunculkan sistem alternatif. Sistem inilah yang akan menggantikan sistem materialistis yang rusak lagi merusak. Sistem itu adalah sistem Islam.
Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu layanan publik yang wajib dipenuhi negara kepada rakyatnya secara gratis dan berkualitas. Hak pendidikan ini disediakan oleh negara tanpa memandang siswa itu kaya ataupun miskin, cerdas atau tidak, muslim ataupun kafir.
Pembiayaan pendidikan yang diberikan negara juga berlaku pada seluruh jenjang pendidikan, bukan hanya untuk SD dan SMP. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut infrastruktur dan sarana pendidikan, gaji guru/dosen sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Jadi, pendidikan dalam Islam memang disediakan secara gratis pada semua jenjang pendidikan.
Dalil yang digunakan adalah Sunah dan ijmak sahabat. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam memutuskan untuk membebaskan tawanan Perang Badar yang tidak sanggup menebus pembebasannya, agar mengajarkan baca tulis anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya. Hal ini menggambarkan bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam selaku kepala negara bertanggung jawab penuh atas pendidikan rakyatnya.
Ijmak sahabat juga menunjukan wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan memberikan gaji kepada guru, muazin dan imam salat jemaah. Khalifah memberikan gaji tersebut dari kas baitulmal yang berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur.
Islam mampu mewujudkan pendidikan yang gratis dan berkualitas karena memiliki sumber pemasukan yang banyak. Pertama, dari pos kepemilikan umum seperti sumber kekayaan alam seperti tambang, hutan, laut, hima dan sebagainya. Kedua, dari pos kepemilikan negara seperti ghanimah, jizyah, khumus (seperlima harta rampasan perang) dan dharibah (pajak). Dengan layanan pendidikan sesuai dengan sistem Islam, tidak akan ada kasus siswa yang dihukum karena keterlambatan soal biaya.
Secara administrasi, layanan pendidikan dilakukan dengan mengacu pada tiga prinsip, yakni sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan dan dilakukan oleh orang-orang yang kapabel. Dengan prinsip ini, akan memudahkan pelaksanaan program dan meminimalisir kecurangan sebagaimana yang terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme.
Dengan sistem Islam, keburukan akan bisa diminimalisir, meskipun tidak bisa hilang sama sekali. Sebab, takwa dan fujur akan senantiasa ada. Jika tetap terjadi perundungan, maka sanksi hukum Islam akan diberikan sesuai dengan tingkat perundungan yang dilakukan. Sanksi hukum Islam hadir dengan memberikan efek jera dan penebus dosa bagi pelakunya. Sudah semestinya umat kembali kepada aturan Islam. Wallahu a'lam bisshowab. ***