DATARIAU.COM - Untuk menjadi generasi terbaik tentunya tak terlepas peran besar orangtua selain masyarakat dan negara. Dengan cinta kasih dan perhatian orangtua, akan membuat anak merasa tidak akan kehilangan pegangan untuk bertanya terkait masalah kehidupan. Namun apa yang terjadi, jika pegangan utama mereka tidak lagi bersatu. Pegangan itu tidak lagi merasa punya peran besar mengarahkan masa depan dunia dan akhirat anak-anak.
Dikutip riau.antaranews.com (07/08/2023), terjadi kasus gantung diri seorang remaja di pelepah sawit di kebun sawit Desa Sungai Sarik, Kecamatan Kampar Kiri, pada Ahad (6/8) sore. Korban bernama Fadil Saputra (17). Warga yang pertama kali ditemukan oleh Supri Andika saat ingin pergi memancing. Kapolsek Kampar Kiri Kompol Rahmadani, mengungkapkan motif korban bunuh diri karena ibu bapaknya bercerai dan merasa malu ibunya mau nikah kembali, korban diperkirakan depresi karena hal itu.
Betapa luar biasanya tekanan pikiran remaja tersebut, hingga terpikir satu-satunya penyelesaian rasa malu hanyalah dengan kematian. Terlihat dia tidak mengungkapkan kegelisahannya pada salah satu orangtuanya.
Tribunpekanbaru.com menayangkan sebuah video viral di Kampar (06/08/2023). Video itu berisi suasana tegang saat ibu dan putrinya melabrak wanita diduga selingkuhan ayahnya yang seorang ASN. Ibu dan putrinya itu mengamuk. Kata-kata makian hingga lemparan batu mendarat ke tubuh wanita diduga perebut laki orang (pelakor) itu. Putrinya yang berbaju merah muda tampak lebih beringas. Ia berusaha mencari celah untuk mendaratkan beberapa pukulan, jambakan, dan tendangan ke wajah dan tubuh wanita itu. Bahkan sampai melemparkan batu. Si ayah pun sesekali mendapat pukulan dari putrinya karena berusaha melerai dan menangkal serangan bertubi-tubi itu.
Begitulah ironi generasi hari ini. Mudah untuk memutuskan sesuatu tanpa pemikiran matang. Ketika mereka bertindak langsung brutal hingga sulit terkendali bahkan solusi nyata adalah kematian. Tanpa diskusi dan obrolan mereka berusaha bertindak tanpa terpikir apa konsekuensi dari perbuatannya.
Hilangnya kasih sayang orangtua
Remaja labil salah satu buah dari ketidakpandaian keluarga terutama orangtua untuk mengarahkan apa yang sedang dipikirkan anak, lalu akan diaktualisasikannya. Padahal, sejatinya ayah dan ibu adalah teman anak dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka.
Sistem sekulerisme kapitalis hari ini membuat waktu-waktu orangtua kesulitan mencari celah berbagi dengan si buah hati. Mendampingi anak-anak belajar, beribadah, bercerita tentang rutinitas mereka sehari-hari tidak lagi diprioritaskan oleh orangtua.
Walhasil segala bentuk pemikiran anak-anak, sejak dini hingga dewasa mereka otodidak mencari di luar dari ikatan keluarganya. Rasa malu, takut, marah pada diri anak di masa sekulerisme ini tidak diredam dengan keyakinan mereka pada aqidahnya. Sejatinya, aqidah mereka punya trik tersendiri untuk mengalihkan semua rasa tadi ke arah yang lebih tepat.
Sekulerisme membatasi generasi mulai dari kanak-kanak hingga beranjak dewasa tidak lagi menganggap berkaca pada aqidahnya penting dalam mengelola semua perasaan marah, kecewa, sedih, bahagia ke perbuatan yang lebih baik. Semua perasaan itu alamiahnya tidak akan bisa dilenyapkan. Namun dapat dialihkan dengan melakukan perbuatan yang tidak merugikan diri mereka sendiri. Dan cenderung Allah Ridhoi.
Ibu dan ayah adalah segalanya bagi buah hati. Ketidakseriusan mendampingi dan mengarahkan mereka akibat aturan hari ini yang menyibukkan mereka dengan urusan pribadi masing-masing. Baik ketika ayah ibunya bersatu, maupun ketika sudah bercerai.
Pemenuhan kebutuhan materi pada anak mengakibatkan mereka berpikir itulah makna kebahagian hakiki bagi si buah hati. Tentu saja tidak. Itu adalah kebahagiaan semu. Dan terlihat dari fakta remaja hari yang makin butal, hilang akal sehat, dan punah rasa malunya. Bahkan membuat merasa kematian adalah pemecah dari segala masalah.
Aqidah Islam Wujudkan Generasi Tangguh
Ustadz Muhammad Iwan Januar, seorang Islamic Super Parent mengungkapkan, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk melindungi dan menjaga kesehatan mental remaja di rumah.
Pertama, cobalah bangun komunikasi dengan dorongan kasih sayang. Hindari komunikasi bergaya koersif seperti menekan, mencurigai, memaksa, investigasi, kepada anak. Remaja akan menghindar dari orang tua ketika merasa dicurigai, diintimidasi, dan ditekan. Ini membuat mereka tak punya tempat curhat di rumah dan kemudian kemungkinan besar salah memilih teman bergaul.
Kedua, batasi penggunaan media sosial dalam keluarga. Media sosial punya sisi negatif pada remaja. Sejumlah kasus depresi dan bunuh diri pada anak dan remaja dipicu bullying yang terjadi di dunia maya. Oleh karenanya orang tua perlu membuat aturan penggunaan juga terlibat dalam media sosial yang dipakai oleh remaja. Kasus brutalnya remaja ketika berselisih dengan teman atau siapapun yang bermasalah dengannya tidak akan berkepanjangan. Karena contoh atau rule model bertindak anarkis pada media sosial berusaha di jauhkan oleh orangtua. Dan lebih baik lagi ketika ada aturan penguasa negeri ini yang menghapus konten-konten yang tidak pantas.
Ketiga, menerima prestasi anak dengan bijak. Banyak remaja mengalami depresi menjelang ujian. Selain khawatir mendapat nilai buruk, mereka juga khawatir tidak dapat memenuhi keinginan orang tua. Tidak sedikit orang tua yang menekan anaknya untuk berprestasi, masuk sekolah atau PTN favorit, lalu bekerja di perusahaan bonafid. Keadaan ini membuat remaja semakin tertekan. Jepang dan Korea Selatan adalah contoh banyak remaja bunuh diri akibat tekanan pendidikan yang begitu tinggi.
Jadi, ayah bunda, bijaklah dalam menyikapi prestasi anak. Cerdas itu tidak hanya dilihat dari prestasi akademik, tapi dari kemampuan berorganisasi, bersosialisasi, kreatifitas seni, dsb.
Keempat, tanamkan sikap tawakal pada Allah. Rata-rata mereka yang depresi dan berlanjut bunuh diri karena merasa hidup sudah tak punya harapan. Sikap itu datang karena tak paham konsep tawakal yang benar dalam agama. Seorang muslim wajib mengimani bahwa manusia itu memang lemah, dan Allah satu-satunya yang Mahakuat, Maha Menentukan, dan tempat bersandar serta menaruh harapan. Bila remaja punya pemahaman yang benar tentang makna tawakal, maka mereka akan paham bahwa dalam hidup tak cukup hanya percaya pada diri sendiri, tapi wajib meyakini adanya takdir Allah.
Dengan tawakal, remaja tak akan berputus asa karena yakin bahwa kejadian dalam hidup ada yang telah ditentukan oleh Allah, maka mereka belajar untuk ikhlas menerima segala takdir Allah Ta’ala, bukan malah meratapi yang berujung pada depresi kemudian bunuh diri.
Tentunya semua langkah parenting di atas harus didorong juga dengan masyarakat yang peduli, dan negara yang juga harus bekerja sama menghilangkan hambatan yang mungkin menghalagi generasi untuk tangguh. Bentuk nyata ketangguhan tersebut adalah lahirnya remaja berpikiran islam dan berakhlak mulia. (*)