DATARIAU.COM - Pembangunan jalan tol Pekanbaru-Dumai dinilai berjalan lambat. Hal ini dikarenakan beberapa kendala yang dihadapi oleh pihak pembangunan infrastruktur ini. Dibangun sejak 2016, konstruksi tol ini baru 9,78% atau 17,62% lebih lambat dari rencana 28,59%.
Menurut Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna, proses mengatakan pembebasan lahan menjadi tantangan utama mengejar target pembangunan tol tersebut. Berbagai kendala lahan ada yang sampai dibawa konsinyasi ke pengadilan sehingga membutuhkan waktu lebih lama.
"Yang terkendala ya lahan, ada material juga. Kalau tanah itu soal izin lingkungan, tapi sudah terukur. Ada problem di hutan misalnya ada yang sudah ditempati warga, ada yang mau nerima, tapi ada juga yang masih dikonsinyasi," katanya. (Detik finance, 6/10/2018).
Dalam sistem kapitalisme saat ini, keuntungan menjadi target utama yang diemban oleh negara. Tak peduli apakah hal tersebut merugikan rakyatnya sekalipun. Adanya kasus pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol di atas, setidaknya memaparkan fakta bahwa memang ada pihak yang dirugikan, yaitu rakyat. Perizinan lahan penduduk setempat yang dijadikan lahan pembangunan jalan menemui proses yang panjang dan berbelit. Bahkan pemerintah sendiri sanggup bertegang urat leher dengan rakyatnya sendiri sampai ke pengadilan. Itupun belum mendapati keputusan yang saling memuaskan kedua belah pihak sampai saat ini.
Padahal sejatinya, jalan adalah fasilitas umum yang bisa dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat yang memerlukannya. Dibangun oleh negara demi kelancaran urusan rakyatnya. Adapun terpakainya lahan warga setempat untuk pembangunan jalan seharusnya tidak menjadi kendala berarti jika saja negara mampu berlaku adil terhadap rakyatnya. Sayangnya, negara kapitalisme hanya mendahulukan kepentingan korporasi dan keuntungan materi dari pembangunan jalur transportasi darat ini. Sehingga ada hak-hak rakyat yang tidak diperhatikan dan diabaikan oleh negara.
Dalam Islam, jalan termasuk kepada fasilitas umum, dimana setiap warga negara boleh mengakses jalan tersebut. Karena itulah negara wajib mengadakan dan menyediakan fasilitas ini. Kewajiban negara dalam hal ini mencakup mulai dari pembebasan lahan untuk pembuatan badan jalan, membangun badan jalan, sampai pada tahap pemeliharaan atau perbaikan jalan seandainya ada jalan yang rusak. Tak seorang pun baik secara individu ataupun secara korporasi boleh menguasai fasilitas ini dengan maksud untuk meraih keuntungan (swastanisasi).
Dalam pembebasan lahan untuk pembangunan jalan, bisa saja lahan yang akan dipakai untuk pembangunan jalur transportasi ini mengalami kendala. Misalnya, jalan yang akan dibangun berada di atas lahan milik pribadi warga negara. Untuk mengatasi masalah ini, negara harus memberikan sejumlah kompensasi yang senilai dengan tanah warga yang tersebut. Atau merelokasi warga sekitar pembangunan jalan ke tempat yang sebanding dengan lokasi uang mereka tempati dulu. Misalnya, jika lahan mereka selama ini memiliki potensi pertanian yang tinggi, maka negara juga harus merelokasi mereka ke tempat yang memiliki potensi pertanian yang tinggi. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam masalah pembebasan lahan ini. Adapun warga negara sebagai rakyat, menyerahkan tanah mereka kepada negara bukanlah sebuah paksaan, sebab ketaatan terhadap Ulil Amri adalah sebuah ketentuan yang diatur dalam Syariat.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisaa: 59).
Jelaslah sudah, bagaimana keadilan Islam dalam mengatur kehidupan manusia. Boleh dibandingkan dengan sistem manapun yang telah pernah ada selainnya, bahwa Islam memang terbukti unggul tak hanya dalam teori, tapi bahkan juga dalam praktiknya.
Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khaththab rqadhiallahu 'anhu, pernah ada seorang Gubernur Mesir, 'Amr bin 'Ash yang hendak membuat sebuah masjid. Dalam pembangunan masjid tersebut, ada sebuah rumah milik seorang Yahudi yang akan digusur oleh sang gubernur. Namun 'Amr bin 'Ash tidak mau mengganti rugi atas rumah Yahudi tersebut. Maka si Yahudi langsung mengadukan hal tersebut pada khalifah 'Umar bin Khathtab. Dalam pesannya pada dua goresan pedang di atas bongkahan tulang yang dibawa oleh si Yahudi ini, 'Amr bin 'Ash menjadi pucat ketakutan. Pasalnya, pesan sang khalifah 'Umar bin Khathtab pada dirinya sangat jelas dan tegas. Si Yahudi pun keheranan, lalu diterangkanlah oleh 'Amr bin 'Ash bahwa jika ia harus berbuat lurus dan adil, selurus garis yang adil pada tulang tersebut, jika dia tidak bisa memenuhinya maka dia akan diadili sang Amirul Mukminin sesuai dengan lambang goresan pedang yang melintang di tulang tersebut.
Mendengar penjelasan sang gubernur, menangislah si Yahudi ini. Ia pikir karena ia bukan muslim maka tidak akan ada keadilan untuk dirinya. Namun lain kenyataannya. Baru kali ini ia mendapati ketetapan hukum yang begitu adil. Hingga si Yahudi memutuskan untuk berislam dan menyedekahkan tanah rumahnya untuk dijadikan lahan masjid.
"...lalu hukum siapakah (yang lebih baik) selain hukum Allah?" (QS. Al Maaidah: 50).
Adakah hukum saat ini bisa menyaingi keadilan dan keindahan sistem Islam? Jawabnya tentu saja "jauh panggang dari api." Oleh karena itu, menerapkan sistem Islam di tengah-tengah kehidupan bernegara itu adalah hal tepat untuk dipilih manusia. Agar setiap hak manusia bisa terpenuhi. Tak hanya muslim, bahkan juga non-muslim. Dengan meninggalkan Islam, kehidupan manusia justru terpuruk pada lembah kehinaan dan penderitaan yang tak berujung.
Wallahu a'lam bishowab..
** Penulis merupakan pemerhati sosial.