Solusi Dua Negara, Akankah Palestina Merdeka?

Oleh: Trisia Harmita
datariau.com
1.677 view
Solusi Dua Negara, Akankah Palestina Merdeka?
Ilustrasi. (Foto: Internet)

DATARIAU.COM - Dua tahun genosida Palestina mencekam. Tidak ada satu hari berlalu tanpa hilangnya nyawa penduduk Gaza. Entitas Yahudi kian hari kian 'istiqomah' untuk membersihkan tanah Gaza dari penduduknya. Dan tanpa ampun mereka melepaskan selonsong peluru pada pengungsi yang berdesakan berebut pangan kiriman.

Sejak Perang Dunia I, malapetaka ini menjadi awal dari segalanya. Inggris sebagai pemenang dan penguasa saat itu menyerahkan tanah Palestina pada entitas yahudi secara cuma-cuma. Yahudi datang berbondong-bondong dalam hitungan ratusan ribuan orang dalam kondisi kelaparan dan tuna wisma. Sementara rakyat Palestina mesti berbagi makanan bahkan rumah secara paksa. Tahun 1948, pasca pengusiran dan pembantaian penduduk Nakba, berdirilah negara Israel yang divalidasi sebagai negara yahudi. Mereka mencaplok tanah, air, dan udara muslim di Syam Palestina, serta menguasainya sebagai institusi yang dipaksakaan oleh Amerika sang adidaya pada Perang Dunia II.

Genosida itu sebenarnya telah berlangsung lebih dari seratus tahun lamanya. Sayangnya, tidak ada satupun negeri muslim sebagai hasil pecahan wilayah yang diciptakan Inggris dalam ukuran negara-bangsa yang turut melindungi dan membela hak-hak Palestina. Kecuali dengan opsi dua negara, yaitu Palestina dan Negara Israel yang durjana. Kaum muslim sedunia kehilangan kukunya yang dahulu tajam dan berwibawa. Padahal solusi dua negara tersebut sama saja dengan membagi tanah Syam warisan nabi untuk Zionis Yahudi dan mengakui legalitas Negara Israel yang berdiri secara ilegal.

Gagasan dua negara ini bahkan sama sekali tidak memberi keadilan bagi Palestina yang telah dizalimi dari masa ke masa. Dalam rancangannya, negara kaum Yahudi menempati 80 persen wilayah Palestina dan sisanya bagi orang Palestina sendiri, meliputi Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya (Tribunnews, 23/9/2025). Ironisnya, hal ini didukung oleh para penguasa negeri muslim. Arab sangat berbangga dengan kesepakatan dua negara rancangan Amerika. Bahkan Indonesia melalui presidennya, sangat berapi-api mempidatokan solusi dua negara tersebut. Jelas ini hanyalah politik basa basi para penguasa negeri muslim. Mereka dilanda dilema. Bila tidak menuruti tuannya Amerika, kekuasaan mereka akan terancam. Dan pilihan mereka sudah sangat jelas, kekuasaan lebih dari segalanya, bahkan lebih berarti dari darah dan airmata muslim Palestina.

Jika para penguasa berada di sisi Amerika, berbagai cara juga sudah ditempuh oleh rakyat dari berbagai negara baik muslim dan non muslim yang tergerak demi kemanusiaan untuk menyelamatkan Gaza dari genosida. Mulai dari aksi boikot seluruh produk yang berafiliasi dengan negara Yahudi, sampai mengirimkan sukarelawan, obat-obatan, pakaian, dan bahan makanan. Hingga menumbuhkan sebuah gerakan global dinamai Sumud Flotilla yang saat ini sedang dilakukan oleh seluruh relawan dari negara-negara asal Eropa, Asia, dan Afrika. Namun apa hasilnya? Sukarelawan yang datang dari jalur laut justru ditembaki dengan drone setelah memasuki wilayah perairan yang diakui sebagai kekuasaan negara Yahudi.

Genosida itu memang nyata. Ada di depan mata. Pasukan Netanyahu bahkan tidak perlu membuang-buang amunisi ke tubuh warga Gaza. Cukup dengan derita kelaparan atas karantina, mereka akan mendapatkan wilayah Gaza secara utuh. Begitu gigihnya Zionis merampas tanah Palestina. Bahkan hal ini sudah direncanakan sejak penguasa mereka sekarang belum terlahir ke dunia. Lalu bagaimanakah dengan muslim? Adakah mereka memiliki kegigihan merebut tanahnya kembali seperti kegigihan Zionis?

Tanah Palestina bukan hanya milik penduduk Palestina, melainkan milik muslim sedunia. Kenyataan inilah yang kebanyakan muslim belum memahaminya. Sejak didirikannya konsep negara-bangsa di bekas wilayah kekuasaan Islam pasca Perang Dunia I, nasionalisme adalah bius andalan Amerika dan sekutunya untuk menidurkan kesadaran kaum muslim akan persatuannya. Pecahnya kaum muslim dalam batas zona negara masing-masing telah berhasil menciptakan suasana individualisme di benak kaum muslim. Hingga mereka berpikir kejadian yang berada di luar batas negara mereka bukanlah urusannya. Biarlah menjadi konflik internal masing-masing negara. Sekiranya memang perlu bantuan, maka bantuan tersebut hanya sebatas apa yang bisa dilakukan oleh individu, bukan oleh negara.

Itulah yang terjadi di Palestina hari ini. Tak satupun penguasa muslim yang sanggup mengirimkan tentaranya ke Gaza untuk menumpas Zionis. Sejauh ini justru hanya individu rakyat yang getol membantu Gaza dalam hal sandang, pangan, tenaga medis, dan obat-obatan. Sudah seharusnya seluruh kaum muslim saat ini sadar bahwa segala cara sudah ditempuh untuk mengakhiri genosida. Diplomasi perundingan perdamaian, pemboikotan, pengecaman, protes massal lintas negara, kiriman bantuan, latar belakang kemanusiaan. Bahkan negara sekuat Iran saja yang telah memborbardir Israel dengan rudal Sijjilnya, tidak mampu menghentikan kekejian bangsa yang pernah dikutuk menjadi kera tersebut.

Zionis menjajah dengan senjata. Untuk menghadapinya memang tidak cukup dengan pemboikotan, pengecaman, pengiriman bantuan, dan alasan kemanusiaan, sebab Zionis tidak mengenal rasa prikemanusiaan. Maka satu-satunya opsi yang tersisa adalah perlawanan militer melalui jihad fi sabilillah. Dalam pandangan Islam, Zionis Yahudi adalah kafir harbi. Bahasa kaum muslim untuk kafir harbi hanyalah perang saja. Bukan untuk diplomasi atau audiensi voting di mahkamah internasional yang dirajai oleh pemilik hak veto.

Bersatunya tentara kaum muslim akan mampu meluluhlantakkan negara ilegal seperti Israel cukup dalam satu hari saja. Hal ini tentu saja dimudahkan Allah dengan letak geografis bangsa Zionis yang dikelilingi oleh negeri-negeri muslim seperti Afghanistan, Iran, Irak, Turki, Suriah, Libanon, Arab, Yaman, dan negara-negara bekas wilayah kekusaan Uni Soviet. Tinta sejarah dunia tidak pernah kering menorehkan ketangguhan negeri-negeri muslim tersebut dalam hal perang. Negara Zionis Israel hanya bagaikan seekor semut kecil yang berhadapan dengan penyedot debu super. Mereka siap menelan Yahudi Zionis kemudian membuangnya ke dalam sampah peradaban.

Oleh karenanya, hal yang mampu mempersatukan kaum muslim untuk benar-benar memerdekakan saudaranya di Palestina bukanlah dari sudut pandang kemanusiaan dan sebuah negara boneka dalam zona nasionalisme, melainkan dorongan akidah Islam yang telah mempersaudarakan mereka dalam ikatan iman. Kemudian menguatkannya dalam satu komando kepemimpinan Islam sebagai institusi negara yang berlandaskan pada syariat Islam yang sah. Ikatan ini lebih kental daripada hubungan darah. Karena telah dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kekasihNya Muhammad Shallallahualaihissallam. "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara," (QS. Al Hujurat : 10).

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)" (HR. Muslim). Wallahu a'lam bishowwab.***

JIKA MENEMUKAN BERITA KAMI TIDAK SESUAI FAKTA, SEGERA HUBUNGI 0813 3966 1966 (Chat WhatsApp Only)