Kebijakan Fiskal sebagai Upaya Pertumbuhan Keuangan Publik Secara Merata

Oleh: Mohammad Noer Sukardi*
datariau.com
474 view
Kebijakan Fiskal sebagai Upaya Pertumbuhan Keuangan Publik Secara Merata

DATARIAU.COM - Berawal dari tahun 2019, dimana negara Indonesia mengalami resesi akibat adanya pandemi covid-19 yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan -0,4% dari pendapatan masyarakat kemudian nilai tukar rupiah mampu menyentuh angka Rp 19.000 per Dolar Amerika Serikat, sehingga harga bahan baku terutama bidang kesehatan mengalami kenaikan hingga 60% dan mayoritas produk farmasi berasal dari china sedangkan bidang ekspor perdagangan menurut bank indonesia turun hingga -5,6% dikarenakan tingginya intensitas penyebaran covid-19 baik darat atau laut.

Virus covid-19 secara mayoritas menular melalui udara yang keluar dari mulut manusia dengan kondisi kesehatan sedang terserang penyakit flu dan batuk (berdahak atau tidak berdahak), ketika dahak tidak muncul maka partikel virus covid-19 mulai menyebar, menghinggap serta melayang diudara saat manusia bernafas, berbicara, batuk, bersin atau bernyanyi dan cenderung jatuh di permukaan terdekat kita sedangkan setiap manusia tidak menyadari hal tersebut sehingga pada akhirnya tekanan atas dampak covid-19 khususnya sepanjang tahun 2020 mengalami peningkatan secara terus-menerus baik pedesaan dan perkotaan.

Berbicara dengan suara keras, berkumpul dengan teman di warung kopi atau tempat perbelanjaan lainnya membuat setiap manusia akan mudah terinfeksi dan dapat menyebarkan virus covid-19 kepada orang lain bahkan ketika mereka tidak menunjukkan gejala terinfeksi virus tingakan pencegahan perlu dilakukan dengan tujuan penyebaran virus covid-19 dapat diturunkan dengan cara menjaga jarak, mencuci tangan menggunakan sabun dan memakai masker.

Kebijakan Fiskal pemerintah indonesia di tahun 2020 membuat masyarakat terhimpit antara yang terinfeksi dan tidak terinfeksi sehingga pembatasan sosial berskala besar dilakukan secara masif setiap bulannya untuk menekan penyebaran covid-19 di lingkungan masyarakat setempat dan hal tersebut menyebabkan pendapatan negara mengalami penurunan hingga Rp 327 Triliun dari tahun 2019 berdasarkan Kilas Balik Kinerja APBN (2020).

Jika pemerintah meningkatkan pajak (untuk menghasilkan lebih banyak pendapatan) atau mengurangi pengeluaran secara bersamaan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengarahkan suatu kebijakan kepada kontraksi atau resesi.

John Maynard Keynes memandang kebijakan fiskal dapat digunakan untuk mengimbangi ekspansi dan kontraksi inflasi dan resesi dari sebuah peristiwa pandemi covid-19, dimana Keynes (1936) menegaskan bahwa pemerintah dapat mengurangi resesi melalui peningkatan belanja publik agar permintaan agregat terjaga sehingga menurutnya anggaran pemerintah harus dalam keadaan defisit ketika perekonomian sedang melambat dan akan surplus pada saat pertumbuhan ekonomi sedang booming (biasanya disertai inflasi).

Stimulus Fiskal dianggap paling efektif ketika pemerintah meningkatkan belanja publik untuk melawan resesi dibiayai oleh pinjaman pemerintah daripada menaikkan pajak atau memotong pengeluaran pemerintah, dikarenakan menurut Friedman (1968) menyatakan bahwa kontrol jumlah uang beredar melalui kebijakan moneter berpengaruh terhadap stabilitas harga sehingga pemerintah indonesia memilih berhutang kepada masyarakat domestik dikarenakan menurut APBN Januari (2020). Pemerintah Indonesia mengalami defisit anggaran sebesar Rp 36.1 Triliun dan untuk menutupi kekurangan tersebut pemerintah menerbitkan banyak Surat Berharga Negara (SBN) kepada masyarakat domestik seperti Perbankan dalam negeri, Bank Indonesia, Manajer Investasi, Asuransi dan Dana Pensiun dengan tujuan mengurangi porsi utang luar negeri dan memperbanyak utang dalam negeri melalui penjualan SBN.

Menurut Nota Keuangan APBN (2023). Pembiayaan SBN sebesar Rp 3.656,0 triliun (2018) terus mengalami peningkatan hingga Rp 6.301,9 Triliun per juni 2022 sedangkan pinjaman luar negeri cenderung mengalami stagnansi jumlah utang di tahun 2018 yaitu Rp 803,1 Triliun kemudian tahun 2022 berada pada angka Rp 806,3 Triliun utang pemerintah dan pada akhirnya kenaikan utang indonesia sebetulnya didominasi oleh penerbitan SBN tiap tahun kepada rakyat dan institusi keuangan dalam negeri, bukan utang keluar negeri untuk memulihkan perekonomian akibat dampak covid-19.

Selanjutnya di 2022 hingga 2023, Indonesia mengalami ekspansi melalui utang negera untuk mengembalikan perekonomian masyrakat dengan meningkatnya jumlah pembangunan jalan tol, jembatan, jaringan listrik, internet, air bersih dan fasilitas kesehatan untuk menunjang pemerataan ekonomi sampai ke daerah-daerah yang belum terpenuhi standar kelayakan fasilitas umum seperti jalan pedesaan berlubang dan akses air bersih di daerah terpencil masih belum tersedia sepenuhnya.

Tahun 2024 Indonesia mencapai puncak ekonomi atau titik tertinggi dalam siklus bisnis, dimana pertumbuhan ekonomi mencapai tingkat maksimum sehingga permintaan dari sebuah produksi barang tidak dapat terjaga dan seringkali mengalami kelangkaan dikarenakan harga bahan baku serta suku bunga pinjaman bank masih tinggi dan pada akhirnya tahun 2025 menjadi masa pemulihan ekonomi dengan stimulus fiskal yaitu Pemindahan Dana Rp 200 Triliun kepada Bank Himbara yang dapat menurunkan suku bunga hingga rata-rata 2,5% dan pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan sebesar 1% berdasarkan Nota Keuangan APBN 2025.

Pemulihan ekonomi di tahun 2025 membuat posisi utang negara Indonesia berapa pada posisi Rp 8.680,13 Triliun per november 2024 dan untuk rincian utang adalah sebagai berikut:


Berdasarkan posisi utang per november 2024 terdapat 71,12% atau setara Rp 7.648,87 Tiliun penerbitan SBN Domestik (Rp 6.173,37 Triliun ) dengan pembagian Surat Utang Negara sebesar Rp 4.979,64 Triliun dan Surat berharga Syariah negara sebanyak Rp 1.193,73 Triliun sedangkan SBN Valas terdata 17,00% (dalam bentuk mata uang asing) senilai Rp 1.472,50 Triliun serta terbagi dalam bentuk Surat Utang Negara Rp 1.082,67 Triliun dan Surat Berharga Syariah Negara yang bernilai Rp 392,83 Triliun. Pinjaman pemerintah tercatat 11,88% terbagi menjadi Rp 42,88 Triliun Pinjaman Dalam Negeri kemudian Pinjaman Luar Negeri Rp 988,38 Triliun.

Pemerintah memilih menjaga 2 Jenis Resiko yaitu Fluktuasi Nilai Mata Uang (membuat nilai utang menjadi mahal) dan Capital Outflow (aliran dana terus digunakan untuk bayar utang keluar negeri) dengan memperbanyak pembiayaan via SBN. Sehat atau tidaknya utang negara dapat dilihat dari jumlah utang dibagi pendapatan negara dalam setahun dikali 100% terhadap GDP (Gross Domestic Produk) atau Produk Domestik Bruto dan ternyata utang Indonesia yaitu:


Posisi Utang Indonesia masih berada dibawah batas minimum Undang-Undang Nomer 17 tahun 2003 yaitu 60% dari Produk Domestik Bruto, dimana Dept to GDP berada diangka 39,20% berdasarkan proyeksi PDB Triwulan IV Tahun 2024. Stimulus Fiskal merupakan sebuah upaya pemerintah dalam mendorong atau mengendalikan keseluruhan permintaan barang dan jasa dalam perekonomian menggunakan pengeluaran pemerintah yang nantinya dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara merata dan serentak melalui perang suku bunga diantara Bank Pemerintah dan Swasta.

Perang suku bunga yang terjadi akibat stimulus fiskal dari pemindahan dana pemerintah kepada Bank Himbara menyebabkan efek domino pada perputaran ekonomi masyarakat terutama kelas menengah ke bawah dikarenakan bunga pinjaman tergolong rendah sehingga masyarakat lebih berani untuk meminjam uang ke Bank sebagai modal usaha, investasi, pemberdayaan UMKM dan lain sebagainya dan akhirnya ekonomi masyarakat indonesia kembali berputar.

Dapat disimpulkan bahwa Kebijakan Fiskal dapat berupa stimulus dari sebuah pinjaman untuk menumbuhkan perputaran ekonomi di masyarakat sehingga memerlukan kebijakan moneter dalam pengoperasiannya terutama dalam menurunkan inflasi, suku bunga atau memaksimalkan penyerapan tenaga kerja yang pada akhirnya perlu direncanakan secara berdampingan.

*) FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Kota Banyuwangi, Indonesia.

JIKA MENEMUKAN BERITA KAMI TIDAK SESUAI FAKTA, SEGERA HUBUNGI 0813 3966 1966 (Chat WhatsApp Only)