DATARIAU.COM - Malang nian nasib nelayan di negara kepulauan yang garis pantai terpanjang kedua di dunia. Harusnya nelayan adalah pihak pertama yang merasakan berkah dari kekayaan bahari yang berlimpah ruah. Namun apa daya, nasib nelayan kian tersandera dan semakin jauh dari kata sejahtera.
Bagaimana tidak? Nelayan yang harusnya bebas dan mudah melaut, justru dibatasi wilayah tangkapannya oleh perusahaan-perusahaan yang merasa memiliki kewenangan untuk memagari laut. Apalagi kalau mereka tidak kerjasama dengan pejabat yang justru memberikan karpet merah untuk para pengusaha. Meski hal itu berakibat pada dibatasinya ruang hidup rakyat yang harusnya mereka ayomi.
Pagar bambu sepanjang lebih dari 30 km di Pantai Tangerang tak lagi misteri. Penduduk sekitar bahkan netizen sebenarnya sudah tahu dalangnya. Dan tentu saja bukan warga nelayan sekitar yang melakukannya. Namun sampai detik ini belum ada yang mengaku bertanggung jawab terhadap pemagaran laut.
Kasus ini sebenarnya bukan hanya masalah nasib nelayan di Pantai Tangerang. Tetapi kasus ini terkait kedaulatan negeri yang digadaikan atau dijual demi kepentingan oligarki dan korporatokrasi. Korporat tak berhenti pada penguasaan daratan sebagai ruang hidup rakyat selama berabad-abad, namun juga merampas mata pencaharian nelayan dengan memagari dan mengkapling-kapling lautan.
Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan bahwa total sudah ada 263 HGB milik dua perusahaan. Jelas ini adalah pelanggaran terhadap putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 yang melarang pemanfaatan ruang untuk HGN di atas perairan.
Viralnya kasus pagar laut di Pantai Tangerang, akhirnya mengungkap fakta pemagaran dan pengkaplingan kawasan laut di sejumlah daerah. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono membeberkan total ada 169 kasus. Membentang dari Batam hingga Surabaya. Bahkan di Sidoarjo, laut yang sudah dikapling-kapling mencapai 657 hektar. Termasuk di Pulau Serangan Bali, laut dipagari pelampung yang mengakibatkan dibatasinya wilayah tangkapan nelayan.
Mencermati kondisi di atas, jelas mengkonfirmasi bahwa ada yang salah dalam tata kelola kekayaan negara ini. Sumberdaya alam yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, justru dinikmati oleh segelintir orang. Para pejabat mulai dari kepala desa sampai kepala negara justru menormalisasi dan mendukung penggusuran ruang hidup rakyatnya sendiri. Bisa jadi akan ada pengkaplingan udara, jika masyarakat tidak menyuarakan dan menuntut keadilan.
Sudut Pandang Islam
Islam adalah agama yang sempurna mengantur seluruh aspek kehidupan. Syariah Islam menetapkan kawasan laut sebagai milik umum sehingga tidak boleh dikuasai oleh perorangan atau perusahaan swasta termasuk negara. Jadi negara tidak bisa seenaknya mengalihkan kepemilikan laut kepada perorangan atau perusahaan. Laut adalah area yang dibutuhkan oleh banyak orang untuk mencari hasil laut, pelayaran kapal penumpang, pelayaran kapal perdagangan, wisata bahari dan sebagainya.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput (termasuk hutan), dan api (bahan tambang), dan harganya adalah haram. (HR. Ibnu Majah)
Hadits di atas menyatakan bahwa kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Itu berarti bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Adapun yang dimaksud oleh hadits tersebut dengan syirkah (perserikatan) dalam air adalah air yang mengalir di lembah, sungai besar, rawa, danau, laut.
Laut yang merupakan bagian dari kepemilikan umum, seharusnya benar-benat untuk kepentingan publik. Negara tidak berhak memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan dengan memberikan HGB dan SHM-nya, karena laut bukanlah kepemilikan negara. Posisi penguasa/negara adalah sebagai pengelola, bukan sebagai pemilik. Hasil dari kekayaan alam laut, seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan umat/rakyat. Islam melarang tegas negara, ataupun individu untuk menswastanisasi harta milik umum (rakyat) tersebut, apalagi hingga dikelola oleh swasta/individu.
Namun hari ini dalam sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, sumber daya alam, tak hanya laut tetapi juga migas pengelolaannya justru diserahkan kepada asing dan aseng. Kalaupun negara katanya memberikan kewenangan kepada ormas atau kampus mengelola tambang, namun nyatanya ini kebijakan yang bersifat politis, yaitu untuk membungkam suara-suara kritis.
Walhasil sudah saatnya negeri ini tunduk kepada aturan Ilahi yang meniscayakan kekayaan alam yang ada pada negeri ini untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan pemimpin hadir untuk mewujudkan keadilan bukan menormalisasi kezaliman. Wallahu a’lam bi ash shawab.***