DATARIAU.COM - Kita sebagai seorang beriman harus senantiasa sadar bahwa setiap orang pasti pernah terjerumus ke dalam kesalahan. Bahkan, dua manusia yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala (Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad ‘alaihimassalam) pun juga pernah berbuat kesalahan. Tiada manusia yang sempurna. Jika kita ingin mencari pasangan, teman atau guru yang tidak memiliki kesalahan, maka selama-lamanya kita tidak akan pernah mendapatkannya.
Islam membimbing kepada kita terkait bagaimana menyikapi berbagai kesalahan tersebut. Sikap yang dianjurkan dan dituntunkan adalah dengan bersikap taghaful (yaitu pura-pura tidak tahu dan mengabaikan kesalahan).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Orang yang cerdik pandai adalah orang yang taghaful.” (Lihat Mu’jam Ibn al Muqri`, 51)
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Keselamatan itu ada 10 cabang, semuanya didapatkan dengan taghaful” (Riwayat Baihaqi dalam Manaqib Imam Ahmad)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda terkait terpujinya sifat taghaful, “Janganlah kalian melakukan tahassus, jangan melakukan tajassus, jangan saling hasad, jangan saling membelakangi, dan jangan saling benci. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara!” (HR. Bukhari)
Kapan dianjurkan taghaful?
Pertama: Jika urusannya terkait dunia dan bukan perkara maksiat
Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berinteraksi dengan istri dan pembantu beliau (Anas Bin Malik) adalah seringkali tidak menyalahkan mereka terhadap perkara dunia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang paling baik (akhlaknya) di antara kalian adalah orang yang paling baik kepada istrinya. Dan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku.” (HR. Tirmidzi, lihat As-Sahihah, no. 285)
Anas bin Malik mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya, paling lapang dadanya, dan paling besar kasih sayangnya.
“Suatu hari (sewaktu Anas masih kecil pen.), beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Aku berangkat, tetapi aku malah (terlupa) menuju anak-anak yang sedang bermain di pasar, bukan melaksanakan tugas Rasulullah. Aku ingin bermain bersama mereka. Aku tidak pergi menunaikan perintah yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beberapa saat setelah berada di tengah-tengah anak-anak itu, aku merasa seseorang berdiri di belakangku dan memegang bajuku. Aku menoleh, ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan tersenyum, beliau bersabda, ‘Wahai Unais (panggilan sayang Nabi ke Anas bin Malik), apakah kamu telah pergi seperti yang aku perintahkan?’ Maka, aku pun salah tingkah, kemudian aku menjawab, ‘Ya, sekarang aku berangkat wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’” (HR. Muslim)
Kedua: Jika maksiatnya terkait hak manusia dan bukan hak Allah
Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika yang dicaci maki dan dihina adalah diri beliau pribadi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membalas.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tidak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu.” (QS. Al-An’am: 34)
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa beliau pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan suatu kisah tentang seorang Nabi di antara para nabi. Ia dipukul oleh kaumnya dan meneteskan darahnya. Lalu, ia sambil mengusap darah pada wajahnya ia berkata,
“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu pula tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dilempari batu di Thaif, maka Allah utus malaikat penjaga gunung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk diperintahkan melakukan apa saja untuk membalas orang-orang di Thaif. Malaikat (penjaga) gunung memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengucapkan salam, lalu berkata, “Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain (dua gunung di kota Makkah).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menjawab, “(Tidak), namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Teladan Nabi dalam menyikapi kesalahan
Pertama: Kisah penghianatan sahabat Hatib bin Balta’ah
Hatib bin Balta’ah merupakan salah satu sahabat Nabi yang ikut perang Badar dan berhijrah. Dan para sahabat yang ikut perang Badar mendapatkan keridaan Allah dan dijamin surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidak akan masuk neraka orang yang ikut dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiah.” (HR. Ahmad)
“Sesungguhnya Allah mengawasi ahli Badar, lalu berfirman, ‘Lakukanlah apa yang kalian inginkan, karena sungguh, kalian telah Aku ampuni.'” (HR. Ahmad, 3: 322-323)
Kesalahan yang pernah dilakukan adalah membocorkan rahasia kaum muslimin ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat berencana untuk menaklukkan kembali kota Makkah dari tangan kaum kafir Quraisy. Hatib menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada orang-orang Makkah untuk membocorkan strategi penyerangan dengan mengutus seseorang untuk membawa surat yang ditulisnya ke Makkah.
Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahuinya melalui malaikat jibril, sehingga beberapa sahabat diutus untuk mencegat perempuan pembawa surat itu. Tatkala Hatib disidang, maka ia berkata, “Jangan hukum Aku, wahai Rasulullah. Demi Allah, sesungguhnya aku ini beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak murtad dan tidak pula menukar agamaku. Wahai Rasulullah, kaum muhajirin yang ada di Makkah memiliki orang-orang yang melindungi keluarganya, sementara aku tidak. Aku bermaksud meminta tolong kepada mereka supaya tidak mengganggu keluargaku!”
Para sahabat yang marah tetap menilai bahwa Hatib telah berkhianat bahkan Umar bin Khatab berkata, “Biarkan Aku penggal lehernya. Sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.” Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memaafkan dan mengingatkan tentang firman Allah di atas. (Lihat HR. Bukhari no. 4890 melalui https://dorar.net/hadith/sharh/6334, lihat Siyar A’lam al-Nubala’, 3: 32 dan Fatawa Mu’asirah oleh Al-Qaradhawi, hal. 176-177)
Kedua: Kisah yahudi memberi salam keburukan kepada Nabi
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Sekelompok orang Yahudi meminta izin untuk bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengucapkan, ‘Assaamu ‘alaikum (racun/kematian bagimu).'”
‘Aisyah menjawab, “Bal ‘alaikumus saam wal la’nah. (Justru bagi kalian kematian dan laknat).”
Maka, Rasulullah menasihati, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai kelemahlembutan dalam segala urusan.”
Lalu ‘Aisyah berkata, “Tidakkah Anda mendengar ucapan mereka?” Jawab beliau, “Ya, aku mendengarnya, dan aku telah menjawab, ‘wa’alaikum.’” (HR. Muslim)
Dari hadis di atas menunjukkan bahwa tidak setiap keburukan harus dibalas dengan keburukan dan dianjurkan untuk mengabaikan tindakan bodoh orang yang jahat selagi tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan).
***
Penulis: Arif Muhammad N.
Artikel: Muslim.or.id