DATARIAU.COM - Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum No. 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan. Surat Edaran Dirjen ini antara lain melarang pengunjung sidang untuk merekam suara, mengambil foto, dan rekaman audio visual pada saat persidangan tanpa seizin Ketua Pengadilan. "Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan," demikian dikutip dari tulis poin 3 Surat Edaran tersebut.
Dibaca dari konsiderannya, SE larangan ini dilatarbelakangi anggapan bahwa penegakan aturan dalam menghadiri persidangan kurang berjalan sebagaimana mestinya. Pengunjung acapkali tidak tertib meskipun sudah ada tata tertib menghadiri persidangan. Selain, ada tindakan mengganggu persidangan yang dilakukan oknum tertentu. Salah satu yang mendapat perhatian publik adalah tindakan seorang pengacara yang mengayunkan ikat pinggang ke majelis hakim.
Pertimbangan lain yang disinggung dalam SE adalah menjaga marwah pengadilan sehingga dibutuhkan suatu aturan untuk mengantisipasi gangguan terhadap jalannya persidangan. SE ini bertujuan membangun kesamaan pemahaman dan cara pandangan khususnya bagi para aparat pengadilan dan pencari keadilan pada umumnya untuk mengikuti persidangan agar terlaksana persidangan yang efektif, aman, tertib dan bermartabat.
SE tidak mengatur bagaimana mekanisme memperoleh ketua pengadilan negeri. Misalnya, apakah cukup mendapatkan izin satu kali untuk persidangan kasus yang sama, atau harus mendapatkan izin setiap kali sidang; atau izin secara periodik misalnya berlaku setahun. Pengaturan ini penting karena imbas pelarangan ini bukan hanya terhadap pengunjung sidang pada umumnya tetapi juga jurnalis yang melakukan liputan dan keluarga terdakwa yang ingin mendokumentasikan persidangan. Apalagi, sudah jamak terjadi, advokat merekam persidangan untuk kepentingan pembelaan kliennya.
Itu sebabnya, kebijakan Mahkamah Agung tersebut langsung menuai kritik. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, menilai SE Dirjen Badan Peradilan Umum proses perekaman suara, televisi atau pengambilan foto berpotensi menghambat kerja jurnalistik. Ia menyebut kebijakan ini tidak tepat karena pengadilan di Indonesia masih jauh dari kualifikasi informatif. Misalnya, pengunjung tidak mendapatkan resume perkara dan sketsa persidangan.
Kalaupun larangan diberlakukan, Ade meminta pengadilan negeri merujuk pada cara yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menyediakan siaran langsung melalui televisi dan pengeras suara di luar sidang pengadilan sehingga siapapun tetap dapat menyaksikan proses persidangan, dan dapat mengetahui apa yang terjadi. Masalahnya, tidak ada fasilitas demikian di setiap pengadilan negeri, sehingga pilihannya adalah masuk dan melihat langsung di ruang persidangan, terkecuali sidang tertutup.
Model perizinan seperti diatur SE mengandung arti bahwa izin mungkin saja diberikan, mungkin juga tidak. Jika izin tidak diberikan, maka akses masyarakat terhadap informasi bisa terhambat. Masyarakat, terutama lembaga pemantau peradilan, akan sulit melakukan pengawasan terhadap jalannya persidangan. "Dampaknya adalah mantinya jurnalis tidak bisa menginformasikan kepada publik kasus-kasus yang kepentingan publiknya tinggi seperti kasus lainnya sehingga yang dirugikan publik karena tidak dapat informasi yang luas," jelas Ade.
Pasal 4 ayat (3) UU Pers menyebut untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemerdekaan pers tersebut juga dikatakan dalam Kode Etik Jurnalistik yaitu Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Kritik senada datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Larangan itu dianggap memperparah mafia peradilan. Mafia peradilan dapat tumbuh subur dalam persidangan yang minim akses publik. YLBHI berpendapat aktivitas mengambil foto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan memfoto, merekam, dan meliput tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang. YLBHI khawatir mekanisme ini akan dipakai untuk menolak permohonan izin merekam persidangan.
YLBHI mencatat, selama ini rekaman sidang memiliki banyak manfaat. Pertama, memperjelas bukti keterangan-keterangan dalam sidang. Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan jalannya sidang. LBH-YLBHI sering menemui keterangan saksi dikutip secara berbeda baik di dalam tuntutan Penuntut Umum atau putusan majelis hakim. Acapkali juga terjadi, keterangan saksi tidak dikutip secara utuh sehingga menimbulkan makna berbeda. Pola lain adalah ada keterangan saksi-saksi tertentu tidak diambil dan tidak dijelaskan pemilihan keterangan saksi tersebut. Dalam pengalaman LBH juga sering ditemukan hakim menghalang-halangi liputan media dan juga dokumentasi oleh Tim Penasihat Hukum.
Kedua, penting untuk bukti sikap majelis hakim dan para pihak. Hakim dan para pihak terikat pada hukum dalam bertindak di dalam sidang. Pasal 158 KUHAP misalnya melarang hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di dalam persidangan tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. Atau Pasal 166 KUHAP yang mengatur pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi.
Ketiga, rekaman persidangan baik audio maupun video juga membuat hakim dan para pihak merasa diawasi. Setidaknya hakim dan para pihak akan berpikir dua kali apabila mereka hendak bertindak tidak patut atau melanggar hukum acara karena akan ada bukti dari rekaman audio dan video tersebut.
Berdasarkan argumentasi itu, YLBHI mengecam larangan MA untuk memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan. YLBHI juga meminta larangan memfoto dan merekam persidangan dicabut.(*)