Paradigma Pendidikan Sebagai Solusi Ekonomi, Bisakah?

Oleh: Ita Harmi
datariau.com
497 view
Paradigma Pendidikan Sebagai Solusi Ekonomi, Bisakah?
Ilustrasi. (Foto: Internet)

DATARIAU.COM - Apa yang akan terjadi pada sebuah bangunan bila pondasinya rusak dan lemah? Tentunya pasti berbahaya bila tetap digunakan, bahkan mengancam keselamatan penghuninya. Demikianlah gambaran kondisi pendidikan di Indonesia. Bangunan pendidikan bumi nusantara memang sedang tidak baik-baik saja. Begitu banyak kegaduhan yang terjadi. Bukan hanya tentang kurikulumnya, hasil pendidikannya, para guru dan murid, materi pelajaran, masalah moral, tapi juga tentang persoalan biaya sekolah.

Sudah tak terhitung betapa banyaknya generasi negeri merah putih ini terpaksa putus sekolah dengan dalih biaya. Di negeri kapitalisme, kualitas memang sebanding dengan harga. Hal tersebut adalah fakta yang tak terbantahkan. Bahkan perkara pendidikan yang berkualitas juga diiringi dengan biaya yang berkelas.

Seperti yang dituturkan oleh Dirjen Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Tatang Muttaqin, dalih ekonomi adalah alasan terbanyak penyebab tingginya angka anak tidak sekolah (ATS). Besarannya mencapai 25,55 persen karena faktor ekonomi, dan 21,64 persen karena faktor mencari nafkah (Tirto.id, 19/5/2025).

Atas dasar fakta inilah Presiden Prabowo Subianto membuat program Sekolah Rakyat (SR) untuk mereduksi tingginya angka anak tidak sekolah. Dalam programnya, Sekolah Rakyat rencananya dirancang untuk jenjang SD, SMP, dan SMA dengan konsep sekolah asrama secara gratis. Sehingga, para peserta didik, selain mendapatkan pelajaran akademik di jam mata pelajaran umum di pagi hari seperti sekolah biasa, juga mendapatkan pendidikan khusus seperti penguatan karakter, orientasi dan matrikulasi. Dengan program ini, pemerintah memiliki harapan untuk mengurangi angka kemiskinan, bisa terwujud (Detik.com, 25/5/2025). Namun apakah betul demikian? Apakah program sekolah rakyat ini akan menekan angka kemiskinan seperti harapan pemerintah?

Beriringan dengan program Sekolah Rakyat, presiden juga berencana membangun Sekolah Unggulan Garuda untuk mengimbangi Sekolah Rakyat. Sekolah ini diperuntukkan bagi peserta didik dengan kecerdasan diatas rata-rata. Konsep pendidikannya sama seperti SR, yaitu asrama. Hanya saja kurikulum yang akan dipakai adalah kurikulum tingkat internasional untuk siswa unggulan. Sebab sekolah ini langsung berada di bawah koordinasi Mendiktisaintek. Dalam perencanaannya, 80 persen biaya sekolah akan ditalangi negara untuk alokasi 160 siswa di setiap angkatan. Sementara 20 siswa akan dikenakan biaya mandiri (Tempo, 23/5/2025).

Sebagaimana diketahui bersama, negeri ini berdiri diatas pondasi dengan bahan campuran berupa sekularisme dan kapitalisme. Nilai kental sekularisme begitu nampak saat pemerintah memutuskan membuat program ini berdasarkan fakta, yang kemudian fakta ini berlanjut dijadikan dalil sebagai landasan hukum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2025. Faktanya, begitu tingginya kasus ATS karena faktor ekonomi. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah regulasi berupa sekolah untuk rakyat kurang mampu. Sementara solusi yang ditempuh adalah membebaskan biaya pendidikan dengan tujuan pengentasan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem. Pemerintah sama sekali tidak menganggap bahwa mencerdaskan anak bangsa adalah tanggungjawabnya sebagai negara, meski hal tersebut sudah diautentikasi di dalam pembukaan undang-undang dasar republik ini. Negara menganggap bahwa dengan diberikannya keadilan kesempatan pendidikan bagi si kaya dan si miskin adalah bentuk tanggung jawab negara. Namun perkara ini tidak semudah itu.

Sementara kapitalisme, mewarnai tujuan pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat jelas pada output yang diharapkan dari kurikulum pendidikan yang telah dirancang. Pada tingkat sekolah menengah saja, skill yang dimiliki oleh para lulusan baru setengah matang. Perlu tempahan pendidikan tinggi untuk mematangkan kemampuan seseorang. Sedangkan kurikulum pendidikan tinggi yang ada saat ini sangat kental dengan basis industri. Dengan kata lain, output dari pendidikan tinggi hanya dirancang untuk menunjang dunia industri. Tamatan strata satu justru mayoritasnya hanya mampu mencetak pekerja setingkat buruh. Hal ini tentu saja juga dipengaruhi oleh kualifikasi pekerjaan yang tersedia. Semakin tinggi posisi pekerjaan, sebanding pula dengan tingkat pendidikan. Begitu pula halnya dengan skema upah.

Dari fakta ini bisa disimpulkan bahwa pendidikan dalam kacamata kapitalisme hanya berorientasi pada kepentingan penghasilan berupa materi. Itulah mengapa pemerintah menyatakan bahwa dengan memberikan kesempatan pendidikan akan mengurangi tingkat kemiskinan. Padahal pendidikan dan kemiskinan adalah dua sisi yang berbeda dan tidak saling bergantung satu sama lain.

Demikianlah pengurusan dunia kapitalisme dalam hal pendidikan. Sama sekali tidak memprioritaskan nilai sikap walau dalam kurikulumnya sudah menyisipkan pendidikan karakter kebangsaan. Tetap yang menjadi fokusnya adalah keuntungan materi. Di lain sisi, keberadaan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda hanya akan menciptakan ketimpangan sosial. Dimana SR adalah untuk rakyat miskin, dan Sekolah Unggulan Garuda untuk rakyat kelas atas, sebab rata-rata siswa dengan kecerdasan unggul berada di kelas ekonomi menengah ke atas. Belum lagi bicara tentang ketimpangan kurikulum yang digunakan.

Jika kita melihat ini dari sudut pandang Islam sebagai agama yang dianut mayoritas di negeri ini, bahwa Islam menjadikan pendidikan sebagai jembatan untuk mencetak generasi unggul yang bertaqwa. Konsep pendidikan dalam Islam berlandaskan kepada akidah Islam, yaitu keimanan terhadap Allah Subahanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Setiap materi akademik disusun dan dirancang untuk menambah keimanan peserta didik terhadap Penciptanya. Adapun tujuan pendidikannya adalah untuk mencetak individu yang bersyakhsiyah Islamiyah, berkepribadian Islam. Menjadikan akidah Islam sebagai acuan pemikiran, sehingga membentuk pribadi yang memiliki pola pikir dan pola tingkah laku yang sesuai dengan kaidah Islam. Setiap individu berhak mendapatkan pendidikan gratis tanpa memandang kelas sosial antara si kaya dan si miskin dengan konsep pendidikan yang sama. Dengan demikian, dengan sendirinya cahaya Islam akan tersebar ke seluruh pelosok negeri dimanapun peserta didik berada.

Sementara untuk mengatasi kemiskinan, maka perlu strategi ekonomi yang mumpuni berupa skema kepemilikan harta. Negara punya hak kelola atas sumber daya alam sebagai harta milik umum, bukan sebagai harta milik negara. Karena sumber daya alam adalah harta milik umum, maka hasil yang diperoleh dari sumber ini sepenuhnya dikembalikan lagi untuk kepentingan umum, seperti membangun fasilitas umum berupa sekolah, laboratorium, perpustakaan, asrama, jalan, jembatan, dan sebagainya yang sifatnya untuk kepentingan umum. Jadi negara tidak membebankan kepada individu tentang biaya pendidikan seperti uang pembangunan sekolah. Setinggi apapun tingkat pendidikan yang ditempuh, maka semua biaya tadi ditanggung sepenuhnya oleh negara dari sumber kekayaan berupa pengelolaan sumber daya alam.

Adapun mengenai kemiskinan, jika rakyat betul-betul kekurangan dalam hal sandang, pangan, dan papan, maka harta milik negara berupa zakat, ghanimah, jizyah, kharaj, dan sejenisnya bisa diperuntukkan bagi para dhuafa sebagai modal usaha tanpa skema pengembalian dana. Maka jelas, masalah ekonomi tidak bisa diatasi dengan pendidikan seperti konsep yang dimiliki oleh kapitalisme.

Oleh karena itu, masalah pendidikan hanya bisa diatasi dengan pendidikan, begitu pula dengan masalah ekonomi. Islam telah meletakkan posnya masing-masing untuk setiap masalah. Maka support system yang jelas dan benar itu nyata adanya.

Dalam sudut pandang ruhiyah, keharusan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di tangan negara adalah wujud dari kewajiban menuntut ilmu atas setiap muslim. Sesuai perkataan dari Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, "Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim." (HR. Ibnu Majah). Oleh karenanya, negara wajib memfasilitasinya agar setiap individu bisa menunaikan kewajibannya. Disaat negara sudah menunaikan kewajibannya, maka gugurlah pula satu hisab Allah Subahanahu wa Ta'ala atas pemimpin.

"Maka nikmat Tuhanmu yang manalagi yang engkau dustakan?" (QS. Arrahmaan).

"Telah Aku sempurnakaan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu kepadamu, dan Aku ridhai Islam sebagai agamamu," (QS. Al Maidaah : 3)

Sungguh Islam memiliki jawaban atas seluruh problematika kehidupan. Ia bukan semata ritualitas, namun juga jalan kehidupan tanpa batas. Sampai kapan harus dipertahankan kehidupan kapitalisme yang culas? Kekayaan sumber daya alam habis dijual bebas, sementara pendidikan anak negeri terpaksa dibiayai sendiri dengan keringat dan kerja keras. Bila pendidikan ala kapitalisme ini tetap diteruskan, yakinlah dengan pondasi yang lemah tersebut hanya mengantarkan manusia pada kehidupan yang nahas.

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. AlMaidaah : 50). Wallahu a'lam bishowab.***

JIKA MENEMUKAN BERITA KAMI TIDAK SESUAI FAKTA, SEGERA HUBUNGI 0813 3966 1966 (Chat WhatsApp Only)