DATARIAU.COM - Orang miskin dilarang kuliah. Mungkin ini pepatah yang tepat untuk menggambarkan bagaimana sulitnya mahasiswa hari ini untuk bisa tetap melanjutkan perkuliahan. Pasalnya, Uang Kuliah Tunggal (UKT) mengalami kenaikan dan disesuaikan dengan program studi. Jelas saja kenaikan biaya uang kuliah (UKT) memicu aksi protes mahasiswa di sejumlah kampus terutama Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH).
Jika dulu pelajar berlomba-lomba untuk bisa lulus di perguruan tinggi negeri. Namun kini nanti dulu. Pintar dan berprestasi jika tidak punya dana yang cukup untuk membayar Uang Kuliah Tunggal(UKT) lebih baik berpikir-pikir dulu. Banyak kasus calon mahasiswa yang telah lulus, akhirnya tidak jadi mendaftar karena tak mampu membayar UKT. Ada juga mahasiswa yang akhirnya terjerat pinjol demi bisa membayar UKT. Seperti yang dialami seorang mahasiswa Fakultas Teknik USU, ia mengaku dirinya harus membayar UKT Rp. 4,5 juta per semester. Untuk menutupi biaya UKT, ia harus meminjam uang di aplikasi pinjaman online (pinjol). (tvonenews.com, 9/05/2024)
Menteri Hukum Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa, BEM Universitas Riau atau BEM Unri 2024, Rialdy, mengatakan bahwa ada sekitar 150 mahasiswa dan calon mahasiswa baru yang kesulitan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Jumlah itu tersebar di 10 fakultas (tempo.co, 18/05/2024). Mau protes? Bisa saja nasibnya bakal seperti Khariq Anhar, mahasiswa Unri yang polisikan Rektor Unri karena mengkritisi kebijakan kampus yang menetapkan kebijakan baru soal UKT. Ia dituduh melakukan pencemaran nama baik dan dilaporkan dengan UU ITE. Meski akhirnya laporan tersebut ditarik karena banyak yang menghujatnya.
Sementara di UGM mahasiswa juga melakukan aksi protes terkait kenaikan UKT. Koordinasi Forum Advokasi UGM Rio Putra Dewanto di sela aksi demonstrasi menyampaikan bahwa mereka telah mensurvei 722 mahasiswa UGM angkatan 2023, disitu ada 511 mahasiswa atau 70,7 persennya merasa keberatan dengan nilai UKT yang ditetapkan. Dari jumlah mahasiswa yang keberatan dengan beban UKT, sebanyak 52,1 persennya telah mengajukan peninjauan kembali UKT kepada kampus. (tempo.co, 12/15/2024)
Kenapa UKT naik?
Perlu dipahami bahwa aturan Kemendikbudristek yang baru mengatur pemetaan tarif UKT menjadi lebih spesifik di tiap program studi. Kampus yang akan menerapkan aturan baru tersebut adalah semua perguruan tinggi yang telah berstatus BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Dampak dari perubahan status ini adalah PTN BH memiliki otonomi penuh untuk mengelola keuangan dan sumber dayanya sendiri termasuk dosen dan tenaga kependidikan (tendik). Hal ini tentu akan berimbas pada naiknya biaya pendidikan.
Kini ancaman komersialisasi pendidikan dengan naiknya UKT terbukti nyata. Praktik kapitalisasi pendidikan di perguruan tinggi berstatus BHMN kian memberatkan mahasiswa. Padahal seyogyanya kewajiban pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik kaya atau pun miskin, dengan akses yang mudah dan bermutu. Status PT-BHMN memberikan peluang yang besar untuk memantulkan peran pemerintah dalam sektor pendidikan.
Dampak Kapitalisasi Pendidikan
Kapitalisasi dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi adalah wujud nyata penjajahan itu sendiri, bahkan merupakan bentuk pengokokan penjajahan. Dengan biaya pendidikan yang melangit, pendidikan yang bermutu hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya. Pendidikan mahal jelas akan memunculkan ekses-ekses serius di lapisan masyarakat bawah. Terjerat pinjol untuk menutupi biaya kuliah, bunuh diri karena tak mampu bayar SPP, mencuri demi bisa membayar uang sekolah anak atau bahkan menjual diri demi bisa tetap kuliah adalah contoh ironis akibat pendidikan berbiaya tinggi.
Dampak lain dari pendidikan yang mahal dan sekular adalah lahirnya generasi-generasi intelektual yang sekular. Merekalah yang bakal menjadi bibit -bibit para pejabat dan penyelenggara negara yang berkhianat terhadap rakyat, menjadi kaki tangan penjajah yang lebih pro korporat dari pada rakyat.
Solusi
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Padahal ini adalah cara pandang dalam sistem pendidikan kapitalis yang diterapkan saat ini.
Sementara dalam sistem pendidikan Islam, negara wajib menyediakan pendidikan bebas biaya kepada warga negaranya, baik muslim maupun non muslim. Negara akan bersungguh-sungguh berupaya memperoleh pendapatan negara agar bisa memenuhi kebutuhan pendidikan yang murah atau bahkan gratis. Hal ini menunjukkan bahwa masalah pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara.
Sistem pendidikan dalam Islam didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa setiap muslim wajib menuntut ilmu dan tidak boleh mengabaikannya. Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda: "Di antara tanda-tanda kiamat adalah menghilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan.." (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Jika pendidikan mahal dan tak terjangkau rakyat, tentu akan berdampak pada menyebarnya kebodohan. Untuk itulah negara dituntut menyediakan pendidikan secara gratis bagi setiap warga negaranya, baik yang miskin maupun yang kaya. Uang yang dikeluarkan negara dari Baitul Mal untuk menggaji guru atau dosen serta untuk membangun berbagai fasilitas pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bebas biaya di semua jenjang pendidikan. Biaya yang dibebaskan tidak hanya menyangkut SPP, tetapi juga termasuk biaya buku, biaya praktikum, dan lain-lain.
Dalam sistem pendidikan Islam, orang-orang kaya juga akan didorong dan mereka juga akan berlomba-lomba untuk mewakafkan hartanya untuk pembangunan berbagai fasilitas pendidikan yang dibutuhkan, seperti sarana fisik sekolah, laboratorium penelitian, asrama, mesjid dan sebagainya.
Negara tidak hanya sekedar berkewajiban menyediakan pendidikan yang bebas biaya tetapi juga menjamin bahwa sistem pendidikan yang ada berkualitas dan mampu mencetak intelektual yang berkepribadian Islam dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di tengah masyarakat.
Sudah saatnya sistem pendidikan kapitalis sekular hari ini diganti dengan sistem pendidikan Islam yang akan mampu menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi oleh peserta didik hari ini. Wallahu a'lam bi ash shawab. ***