DATARIAU.COM - Indonesia kembali berduka. Banjir bandang melanda Sumatera Barat pada Ahad, 12 Mei 2024. Adapun banjir bandang ini mengakibatkan 193 rumah warga mengalami kerusakan. Korban jiwa yang meninggal akibat banjir bandang dan lahar di Sumatera Barat mencapai 58 orang. Orang yang hilang dilaporkan ada 35 orang. Korban tersebut tersebar di Kabupaten Tanah Daftar, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang Panjang dan Kota Padang. (bbc.com, 15/05/2024)
Bahkan menurut Budi Perwira Negara, Kepala Badan Pelaksana Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam menyebut bencana ini adalah yang paling parah terjadi di Kabupaten Agam dalam kurun waktu 150 tahun.
Pemerintah sendiri mengklaim bahwa curah hujan yang tinggi memicu banjir, longsor, dan lahar dingin mengalir di Sumatera Barat. Namun aktivis lingkungan menilai bencana yang kerap terjadi di Sumatera Barat karena kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumberdaya. alam yang berlebihan dan pembangunan secara brutal.
Pantas saja dalam enam bulan terakhir, banjir bandang dan lahar telah terjadi berulang kali di sejumlah daerah di sekitar Gunung Marapi, Sumatra Barat. Pada 5 Desember 2023, dua hari setelah erupsi Gunung Marapi yang menewaskan 24 orang, banjir bandang dan lahar melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Tanah Datar. Saat itu, banjir lahar sempat menghantam pemandian air panas di Nagari Pariangan, masjid dan rumah warga di Nagari Batubasa, dan membuat sebuah jembatan rusak di Nagari Baringin.
Pada 23 Februari 2024, banjir bandang menerjang Nagari Barulak, juga di Kabupaten Tanah Datar. Sebanyak 27 rumah, dua musala, lima jembatan, dan puluhan hektare lahan pertanian terkena dampaknya. Selanjutnya pada 5 April 2024, dua hari setelah erupsi Gunung Marapi yang melontarkan abu vulkanis hingga ketinggian 1,5 kilometer, banjir lahar dingin menghantam sejumlah wilayah di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar.Imbasnya, 61 rumah, 38 tempat usaha, dan 16,5 hektare lahan sawah di Kabupaten Agam rusak. Jalan Padang-Bukittinggi di Kabupaten Tanah Datar pun sempat tertutup total karena luapan air dan material lain dari sungai di bawah jalan yang tersumbat.
Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat menyatakan bahwa apa yang terjadi di Sumatra Barat sat ini merupakan bencana ekologis yang terjadi karena "salah sistem pengurusan alam". Banjir bandang dan lahar terus berulang dan makin tinggi intensitasnya karena eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan serta pembangunan yang tidak berbasis mitigasi bencana. Contohnya adalah pembalakan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), serta penambangan emas di kawasan penyangga TNKS.
Berdasarkan pemantauan dan analisis citra satelit pada periode Agustus-Oktober 2023, Walhi Sumatra Barat menemukan indikasi pembukaan lahan untuk penebangan liar seluas 50 hektare di Nagari Padang Air Dingin, Kabupaten Solok Selatan, dan seluas 16 hektare di Nagari Sindang Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan.
Di sisi lain, hasil studi Auriga Nusantara bersama sejumlah LSM lingkungan seperti Walhi dan Greenpeace menunjukkan tutupan sawit dalam kawasan hutan di bentang alam Seblat meningkat dari 2.657 hektare menjadi 9.884 hektare pada periode 2000-2020. Rentannya kondisi lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam dan pembangunan yang serampangan, ditambah aktivitas Gunung Marapi, akhirnya berujung pada "akumulasi bencana".
Banjir tak hanya terjadi di Sumatera Barat, tetapi ternyata juga telah terjadi di Sulawesi Tenggara. Luapan banjir Sungai Lalindu setinggi dua meter yang melanda di Desa Sambandate, Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) membuat Jalan Trans Sulawesi lumpuh total. Pihak BPBD Konawe Utara mencatat data sementara warga yang terdampak banjir bandang sebanyak 883 kepala keluarga dengan total jiwa 1.983 orang. (tempo.co, 11/05/2024)
Perlu dipahami bahwa terjadinya bencana di berbagai tempat, bisa karena alam ataupun ulah tangan manusia. Berulangnya bencana yang terjadi di Indonesia dan memakan korban yang banyak, menunjukkan bahwa ada tata kelola pembangunan yang salah selama ini. Dimana massifnya pembangunan atau pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit berdampak pada kerusakan lingkungan. Pemerintah harus melakukan upaya mitigasi komprehensif, sehingga pencegahan bencana dapat optimal dilakukan. Demikian pula upaya menyelamatkan masyarakat korban bencana harus dilaksanakan seoptimal mungkin.
Kebijakan Pembangunan dalam Islam ditetapkan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat dan menjaga kelestariaan alam. Kebijakan pembangunan dalam Islam tidak akan eksploitatif ataupun deksturuktif. Mitigasi komprehensif akan mampu mendorong langkah antisipasif sehingga mencegah jatuhnya banyak korban dan memperkecil dampak kerusakan. Wallahu a'lam bi ash shawab. ***